astakom, Jakarta – Perusahaan infrastruktur internet Cloudflare mengambil langkah tegas dalam menghadapi isu eksploitasi data oleh kecerdasan buatan (AI).
Per 1 Juli 2025, Cloudflare mengubah kebijakan pemblokiran crawler AI dari opsional menjadi pengaturan default. Artinya, semua situs yang dilindungi oleh Cloudflare kini otomatis menolak perayapan konten oleh sistem AI kecuali mendapat izin eksplisit dari pemilik situs.
Baca juga
Langkah ini merupakan respons terhadap kekhawatiran yang semakin besar atas praktik pengumpulan data secara masif oleh pengembang Large Language Models (LLM), seperti ChatGPT dan Llama, yang mengandalkan data publik di internet untuk pelatihan sistem mereka. Namun, pendekatan ini menuai kritik luas karena dinilai berpotensi melanggar hak cipta, merusak privasi, dan menurunkan akurasi informasi.
“Jika internet ingin bertahan di era AI, kita harus memberikan kendali kepada para penerbit dan membangun model ekonomi baru yang adil untuk semua pihak pembuat konten, pengguna, pengembang AI, dan masa depan web itu sendiri,” ujar Matthew Prince, CEO dan salah satu pendiri Cloudflare, dalam pernyataan resmi.
Sebelumnya, sejak September 2024, Cloudflare telah menyediakan opsi bagi penggunanya untuk memblokir AI crawler, dan lebih dari satu juta situs memilih opsi tersebut. Kini, opsi itu menjadi standar. AI hanya dapat mengakses situs setelah mendapatkan izin yang bisa bergantung pada tujuan apakah untuk pelatihan, pencarian (search), atau inferensi.
Menurut analisis Astakom, kebijakan baru ini tak hanya soal perlindungan konten, tapi juga mempertaruhkan model bisnis berbasis trafik. Jika pengguna lebih memilih informasi dari chatbot AI ketimbang mengunjungi situs langsung, maka jumlah pengunjung akan merosot dan peluang iklan ikut menurun. Ini menggeser dampaknya dari masalah etika menjadi persoalan ekonomi.
Sementara itu, perdebatan hukum soal web scraping masih berlangsung di berbagai yurisdiksi. Di Eropa, langkah Meta (Facebook) untuk menggunakan data dari Facebook dan Instagram sebagai pelatihan model Llama mendapat reaksi beragam. Di Jerman, gugatan perlindungan konsumen ditolak pengadilan, dan Otoritas Perlindungan Data Jerman menghentikan penyelidikan sambil menunggu evaluasi tingkat Uni Eropa.
Namun, tak semua pihak optimis langkah Cloudflare akan berdampak besar. Platform seperti Facebook (Meta), X (Grok), dan LinkedIn (Microsoft) memiliki kendali penuh atas datanya dan sekaligus menjadi pengembang AI besar, sehingga tetap dapat memanfaatkan datanya sendiri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kualitas informasi yang digunakan AI, mengingat media sosial bukanlah sumber kebenaran yang andal. Misalnya, Astakom mencatat bahwa pada Mei 2025, model AI Grok menyebarkan narasi tidak berdasar tentang “genosida kulit putih” di Afrika Selatan, yang bersumber dari konten media sosial X.
Langkah Cloudflare bisa dibaca sebagai upaya industri teknologi mengatur dirinya sendiri ketika hukum belum mampu mengejar cepatnya laju inovasi digital, menegaskan bahwa perlindungan terhadap konten orisinal perlu menjadi prioritas bersama.
Dengan kebijakan ini, Cloudflare menjadi pelopor dalam memberikan perlindungan default terhadap situs dari perayapan AI yang tidak sah. Sebuah sinyal bahwa masa depan internet perlu diatur tidak hanya oleh kode, tetapi juga oleh kesepakatan etika dan ekonomi yang adil.