Rabu, 9 Jul 2025
Rabu, 9 Juli 2025

Soroti Kasus Karawang, DPR: Kekerasan Seksual Tak Bisa Selesai di Luar Peradilan

astakom, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyoroti kasus miris dugaan pemerkosaan yang dialami mahasiswi di Karawang, Jawa Barat. Anehnya, kasus ini kemudian dimediasi untuk berdamai dengan menikahkan pelaku walau akhirnya langsung diceraikan.

Tak hanya itu, Gilang juga mengecam langkah aparat kepolisian yang memfasilitasi mediasi perdamaian karena kasus kekerasan seksual kini wajib diproses hukum.

“Dalam UU TPKS, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Sekalipun ada perdamaian, aparat penegak hukum tetap wajib memproses hukum pelaku,” kata Gilang Dhielafararez, Selasa (8/7), dalam keterangan resmi dikutip astakom.com.

Diberitakan sebelumnya, mahasiswi berusia 19 tahun di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diduga menjadi korban pemerkosaan guru ngaji berinisial J yang juga merupakan paman korban pada awal April lalu.

Sayangnya saat pelaku digelandang ke Polsek Majalaya, pihak kepolisian justru memediasi kasus tersebut dan menyarankan perdamaian. Kesepakatan damai itu berisi pernyataan pelaku untuk bersedia menikahi korban dan keduanya tidak akan saling menuntut di kemudian hari.

Selang satu hari dinikahkan, korban langsung diceraikan dan pelaku masih menjalankan aktivis sebagai seorang guru ngaji seperti biasa.

Pada Mei 2025, tim kuasa hukum korban sudah melaporkan lagi kasus ini ke Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Karawang. Namun laporan itu tidak bisa diproses karena sebelumnya ada surat pernyataan damai.

Menurut Gilang, pendekatan damai terhadap kejahatan seksual adalah bentuk penyimpangan hukum yang tidak dapat ditoleransi dan menciptakan preseden sangat berbahaya bagi perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia.

“Tidak ada ruang mediasi dalam perkara pemerkosaan. Ini bukan delik adat, bukan persoalan reputasi kampung, ini tindak pidana berat,” ujarnya.

Gilang menyebutkan, Undang-undamg Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak memperbolehkan adanya perdamaian dalam kasus kekerasan seksual.

Pasal 23 UU TPKS secara tegas menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

“Pengecualian hanya berlaku untuk pelaku anak, di mana penyelesaian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme peradilan anak yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak,” ungkap Gilang.

Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) yang sering digunakan dalam kasus lain juga tidak berlaku dalam kasus kekerasan seksual. Sebab hal tersebut dapat memperburuk trauma korban dan tidak memberikan efek jera pada pelaku.

Karena itu, Gilang menegaskan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, wajib menolak klaim perdamaian dalam kasus kekerasan seksual dan memastikan proses hukum berjalan, bukannya malah memfasilitasi perdamaian yang mencederai keadilan bagi korban.

“Aparat yang menyarankan perdamaian dalam kasus seperti ini telah menyimpang dari tugas konstitusionalnya sebagai penegak hukum,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.

Adapun Polres Karawang mengklaim kasus tersebut tidak bisa diproses ke Unit PPA karena korban bukan anak di bawah umur, sehingga difasilitasi untuk berdamai.

“Kalau alasannya begitu, seharusnya dibawa ke ranah pidana umum. Ini kok malah difasilitasi perdamaian yang jelas-jelas melanggar undang-undang,” ucap Gilang.

Gilang tak habis pikir dengan sikap polisi yang memediasi kasus kekerasan seksual berujung dinikahkan ini. Menurutnya, praktik semacam itu merupakan bentuk ‘pembiaran sistemik’ yang menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat hukum.

“Padahal korban sudah cukup berani bersuara dan melaporkan kejadian. Alih- alih mendapatkan perlindungan, korban justru dihadapkan pada tekanan sosial dan dibiarkan ‘menikah’ dengan pelaku, lalu diceraikan keesokan harinya,” tukasnya.

“Ini bukan sekadar cacat prosedur. Ini pengkhianatan terhadap keadilan. Polisi seharusnya membawa pelaku ke jalur hukum, bukan mengatur jalan pintas yang mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya,” sambung Gilang.

Anggota komisi penegakan hukum dan keamanan DPR itu menilai, tidak adanya rujukan langsung ke Unit PPA dalam kasus ini menunjukkan lemahnya pemahaman aparat di tingkat bawah terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Gilang mengingatkan semangat dari UU TPKS salah satunya adalah menghentikan normalisasi terhadap praktik kekerasan seksual.

“Dalam UU TPKS juga diatur pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku kekerasan seksual bisa dikenai sanksi pidana. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menjadikan perkawinan sebagai solusi dari kekerasan seksual, bisa dipidana,” tegasnya.

Gilang pun mendorong agar setiap aparat yang terlibat dalam upaya ‘mediasi’ kasus kekerasan seksual untuk diperiksa dan diberi sanksi, karena telah bertindak di luar kewenangan dan melanggar UU TPKS.

“Komisi III DPR akan meminta klarifikasi resmi dari Polri. Aparat yang ikut memfasilitasi mediasi dalam kasus ini harus dievaluasi. Kalau dibiarkan, tentunya akan menjadi preseden buruk dan kasus kekerasan seksual akan terus menjadi fenomena gunung es,” tutupnya.

Rubrik Sama :

Ma’ruf Amin Ungkap Bakal Ada Badan Ekonomi Syariah Pengganti KNEKS

Pemerintah bersiap melakukan lompatan besar dalam tata kelola ekonomi syariah nasional, dengan membentuk Badan Ekonomi Syariah, menggantikan peran Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

Rachmat Pambudy Sebut Ekonomi Syariah Jadi Jalan Keluar dari Krisis Global

Ekonomi syariah tak lagi sekadar alternatif, tapi mulai diposisikan sebagai solusi sistemik dalam menghadapi krisis global. Hal ini ditegaskan langsung oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy.

Prabowo Siap Luncurkan 3 Program Trisula untuk Entaskan Kemiskinan Sepanjang Juli

astakom, Jakarta - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hassan Nasbi mengumumkan tiga program prioritas pemerintah yang akan diluncurkan sepanjang Juli 2025. Ketiga program ini merupakan...

Banyak Kasus Intoleransi, Ketua Komisi XIII DPR Tegaskan Hak Beribadah adalah Konstitusional

astakom, Jakarta - Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menyoroti berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Ia pun menegaskan bahwa...
Cover Majalah

Update