astakom, Jakarta – Pandangan umum bahwa program bantuan sosial (bansos) hanyalah beban bagi anggaran negara ditepis tegas oleh anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf.
Dia menegaskan, bahwa bansos sejatinya merupakan instrumen investasi jangka panjang yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan merata.
“Sering orang mengistilahkan bansos itu sebagai biaya. Padahal bansos itu adalah investasi. Investasi supaya kita mendapatkan future growth atau bahkan growth sekaligus,” tegas Arief dalam diskusi Double Check, dikutip astakom.com, Minggu (29/6).
Menurutnya, strategi pemberian bansos yang diterapkan saat ini sudah selaras dengan Astacita Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama.
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan sosial pemerintah bukan sekadar respons atas tekanan ekonomi, tapi bagian dari kerangka pembangunan yang lebih luas.
Lebih jauh, Arief menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah tak hanya berhenti pada bansos. Program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), deregulasi ekonomi, serta paket stimulus triwulan II merupakan langkah komplementer untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih menyeluruh.
Pernyataan ini diperkuat dengan pernyataan Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu. Dalam kesempatan yang sama, Febrio Ia memaparkan bahwa porsi perlindungan sosial dalam APBN 2025 telah ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun.
“Dalam postur APBN tahun ini, sebesar Rp503,2 triliun atau 13,9 persen disiapkan untuk perlinsos, dan enam persen atau Rp218,5 triliun untuk biaya kesehatan,” ungkap Febrio.
Tak hanya itu, pemerintah juga telah menyiapkan paket stimulus ekonomi triwulan II senilai Rp24,4 triliun. Paket ini dirancang untuk memperkuat daya beli masyarakat sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah dinamika global yang tidak menentu.
“Melalui paket stimulus dan alokasi perlinsos itu, diharapkan bisa menjaga pertumbuhan ekonomi di kuartal II, serta meningkatkan daya beli masyarakat,” jelas Febrio.
Langkah ini mencerminkan strategi fiskal pemerintah yang proaktif namun terarah. Alih-alih memotong pengeluaran sosial demi menstabilkan anggaran, pemerintah justru menguatkan fondasi ekonomi dari bawah, melalui pemberdayaan masyarakat, penguatan daya beli, dan peningkatan kualitas hidup.