astakom.com, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta sebagai terobosan baru dalam memperkuat pendidikan inklusif, moderasi beragama, serta perlindungan hak-hak minoritas di Asia.
Pesan tersebut disampaikan Nasaruddin saat menjadi keynote speaker dalam forum Inter Religious Conference on Freedom of Religion and Rights of Religious Minorities in Asia, yang berlangsung di Auditorium Graha Oikoumene, Jakarta, Rabu (17/9).
Menag mulanya mengapresiasi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang bersama-sama dengan Christian Conference of Asia (CCA) menggelar forum bertaraf internasional tersebut. Menurutnya, forum ini menjadi wadah penting untuk memperkuat dialog lintas iman.
“Saya ingin mengucapkan penghargaan kepada PGI dan CCA yang menginisiasi dan menyediakan pertemuan penting ini. Dedikasi Anda untuk dialog, keamanan, dan keadilan merupakan sumber inspirasi, bukan hanya untuk Asia tetapi juga untuk seluruh dunia,” ujar Menag, dikutip astakom.com.
Ia menekankan, Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara demokrasi dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, tetapi juga memiliki keragaman luar biasa.
“Diversitas ini adalah keberuntungan sekaligus tantangan terbesar kita. Kesatuan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus ditumbuhkan melalui fondasi moral yang lebih dalam daripada politik atau ekonomi. Fondasi itu adalah budaya cinta,” tegasnya.
Menurut Menag Nasaruddin, Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar teori semata, melainkan praktik nyata yang ditopang oleh empati, belas kasih, dan rasa hormat.
“Untuk benar-benar mencintai Tuhan, seharusnya juga mencintai manusia. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk takut, tetapi peluang untuk saling belajar,” jelasnya.
Ia mencontohkan penerapan kurikulum ini di Masjid Istiqlal melalui pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan masjid dengan Gereja Katedral Jakarta.
“Bagi saya, Masjid Istiqlal bukan hanya untuk komunitas Muslim, tapi pusat kemanusiaan. Kurikulum ini lebih dari sekadar bangunan fisik, tapi metafora hidup tentang apa yang Indonesia inginkan: kepercayaan tidak saling berlawanan, melainkan bekerja sama; komunitas tidak terpisah, melainkan saling terhubung,” ucap Menag.
Dalam pidatonya, Menag juga menyoroti tantangan kebebasan beragama yang masih dihadapi masyarakat Asia. Ia menegaskan intoleransi, diskriminasi, dan ketidakadilan masih menjadi persoalan serius, terutama bagi kelompok minoritas.
Pendidikan berbasis kasih sayang, lanjutnya, merupakan alat terkuat untuk menumbuhkan generasi yang menolak kekerasan dan melindungi hak semua orang.
“Melindungi kebebasan beragama bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga tugas spiritual. Setiap tindakan toleransi, setiap penghormatan atas hak asasi manusia, adalah refleksi kasih sayang kita kepada Tuhan,” tuturnya.
Ia berharap pengalaman Indonesia dalam menjaga keragaman bisa menjadi kontribusi penting bagi dunia.
“Biarkan semangat kasih sayang membimbing kita semua. Biarkan semangat itu membentuk kita dalam melindungi keadilan dan kemanusiaan. Mari jadikan perjumpaan ini sebagai penunjuk harapan untuk dunia,” pungkasnya.
Gen Z Takeaway
Menag Nasaruddin Umar lagi vibes banget ngenalin Kurikulum Berbasis Cinta biar pendidikan nggak cuma soal teori tapi juga empati, toleransi, dan kasih sayang. Intinya, beda agama bukan alasan buat takut, tapi kesempatan buat saling belajar.
Dari Masjid Istiqlal sampai Katedral, beliau kasih contoh nyata kalau cinta bisa jadi jembatan antariman. Pesannya clear banget: toleransi itu bukan cuma kewajiban hukum, tapi juga wujud spiritual buat jagain kemanusiaan.