astakom.com, Jakarta – Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa Indonesia berhasil memenangkan sengketa perdagangan melawan Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Gugatan ini terkait penerapan bea imbalan atau countervailing duties terhadap impor produk biodiesel dari Indonesia, atau dikenal dengan Sengketa DS618.
Kabar kemenangan ini diumumkan oleh Panel WTO, pada Jumat (22/8). UE telah bertindak inkonsisten terhadap ketentuan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (WTO ASCM)/Perjanjian Subsidi dan Anti Subsidi WTO pada sejumlah aspek kunci.
Menteri Perdagangan RI, Budi Santoso menyambut baik hasil putusan tersebut. Putusan ini membuktikan konsistensi Indonesia dalam mengikuti aturan perdagangan internasional.
“Kemenangan ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia konsisten mematuhi aturan perdagangan internasional tanpa memberlakukan kebijakan perdagangan yang distortif bagi perdagangan internasional, sebagaimana dituduhkan oleh UE,” tutur Budi dalam keterangan dikutip astakom.com, Selasa (26/8).
Budi juga mendesak UE untuk segera mencabut bea masuk imbalan yang tidak sesuai dengan aturan WTO ini. Karena berdasarkan informasi dari panel WTO, kebijakan pengenaan bea imbalan oleh Komisi UE melanggar Perjanjian Subsidi dan Antisubsidi WTO.
Adapun pengenaan bea imbalan oleh Komisi UE didasarkan pada penilaian pemberian kepada produsen biodiesel oleh pemerintah Indonesia.
Komisi UE menilai subsidi tersebut menyebabkan distorsi harga. Subsidi yang dimaksud Adalah subsidi yang diberikan melalui kebijakan penyediaan bahan baku produksi biodisel, bea keluar, pungutan terhadap ekspor, dan penetapan harga acuan bagi pelaku usaha di sektor minyak kelapa sawit.
Tiga Aspek Kunci Putusan WTO
Mendag Busan merinci sejumlah aspek kunci kemenangan Indonesia dalam DS618. Pertama, Panel WTO menolak argumen UE yang mengklaim Pemerintah Indonesia mengarahkan pelaku usaha untuk menjual minyak kelapa sawit kepada produsen biodiesel dengan harga rendah.
Komisi UE berargumen, subsidi dalam bentuk arahan dan perintah dari Pemerintah Indonesia kepada pelaku usaha di sektor minyak kelapa sawit bertujuan menyediakan bahan baku dengan harga yang menguntungkan produsen biodiesel Indonesia.
Kedua, Panel WTO menilai, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait bea keluar dan pungutan ekspor minyak kelapa sawit tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk subsidi.
Ketiga, Panel WTO menyatakan, Komisi UE gagal membuktikan adanya ancaman kerugian material yang dialami produsen biodiesel di Eropa akibat ekspor biodiesel Indonesia. Terlebih, Komisi Eropa dinilai mengabaikan faktor-faktor lain yang turut memengaruhi dinamika pasar biodiesel di kawasan tersebut.
“Dengan demikian, Panel WTO menilai bahwa bea masuk imbalan yang diberlakukan UE terhadap produk biodiesel Indonesia tidak didasarkan pada bukti yang objektif,” ujar Budi Santoso.