astakom.com, Yogyakarta – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin merambah ke berbagai sektor, termasuk industri kreatif dan perfilman.
Jika sebelumnya produksi film identik dengan biaya tinggi dan proses panjang, kini AI menghadirkan cara baru yang dinilai lebih efisien. Hal itu disampaikan oleh
“Manfaat paling nyata dari AI terlihat pada efisiensi produksi,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Budi Dwi Arifianto dalam keterangan pers, dikutip astakom.com, Kamis (21/8).
Budi lantas mencontohkan pada tahap praproduksi, teknologi ini mampu membantu dalam penulisan ide cerita, logline, sinopsis, hingga pembuatan storyboard.
Kemudian pada tahap produksi, teknologi seperti virtual cinematography dan generative background mempermudah sineas dalam menciptakan adegan yang kompleks.
“Begitu juga di pascaproduksi, AI sudah mampu melakukan color grading otomatis, dubbing, pembuatan efek visual, dan lain sebagainya. Semua itu membuat produksi lebih efisien dan cepat,” ucap pria yang akrab disapa Tobon tersebut.
Hal-hal yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh studio besar, kini dapat dijangkau oleh kreator independen dengan modal terbatas.
Tobon menambahkan, AI juga membuka peluang kreativitas baru karena sineas dapat bereksperimen melampaui keterbatasan teknis maupun finansial.
“AI memungkinkan pembuatan dunia fantasi yang dulu hanya bisa dilakukan studio besar. Bahkan kini, satu orang bisa menghasilkan karya berskala besar tanpa tim besar,” tuturnya.
“Aksesibilitas semakin terbuka. Misalnya, AI mampu menghadirkan kembali tokoh sejarah atau budaya klasik melalui visualisasi digital yang lebih hidup,” tambahnya.
Tantangan Etika dan Hak Cipta
Meski membawa peluang, Tobon mengingatkan bahwa AI juga menimbulkan tantangan serius, terutama terkait etika, hak cipta, dan ancaman profesi.
“AI bisa meniru karakter bahkan mengubahnya sedikit agar terlihat berbeda. Ini problematik, karena karakter itu ada pemiliknya. Maka akan muncul pertanyaan: karya itu milik siapa? Seniman atau mesin? Regulasi hukum dan hak cipta harus segera dipertegas,” tegasnya.
Tobon menyebut, pergeseran peran dalam industri film juga tidak bisa dihindari dengan kehadiran AI. Profesi penulis naskah, editor, hingga animator terancam tergantikan. Namun ia yakin, kualitas emosional belum mampu tergantikan oleh AI.
“Film bukan sekadar teknis, tapi pengalaman batin yang otentik dari seorang seniman. Sentuhan humanis dan spontanitas itulah yang membedakan karya manusia dengan mesin,” jelas Tobon.
Peluang Bagi Generasi Muda
Meski penuh tantangan, Tobon tetap optimistis. Menurutnya, AI justru membuka kesempatan baru bagi sineas muda di Indonesia untuk berkarya dengan lebih leluasa.
“Kunci pemanfaatan AI ada pada cara sineas memposisikannya. Gunakan AI sebagai asisten kreatif, bukan sutradara penuh. Jadikan ia otak kedua, bukan otak pertama. Karena bagaimanapun, gagasan sejati tetap lahir dari manusia,” pungkasnya.