astakom, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendorong eksportir nasional untuk terus meningkatkan daya saing produknya, menyusul pemberlakuan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) yang mulai efektif sejak Kamis (7/8) kemarin.
Meski tarif yang dikenakan relatif rendah dibandingkan negara pesaing, selisih margin yang tipis membuat pemerintah meminta paraeksportir untuk menjaga efisiensi biaya produksi dan distribusi guna mempertahankan posisi Indonesia di pasar global.
“Tarif Indonesia sudah termasuk rendah, tapi kan selisihnya juga sedikit dengan negara lain. Kita harus menjaga betul competitiveness (daya saing) kita,” ujar Sesmenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso di Jakarta, dikutip astakom.com, Jumat (8/8).
Untuk mendukung daya saing tersebut, Susiwijono menyebut pemerintah telah mengupayakan berbagai langkah strategis untuk menekan biaya logistik dan menjaga iklim investasi dalam negeri. Salah satunya melalui deregulasi yang difokuskan pada penyederhanaan perizinan berusaha.
Langkah ini diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 yang terbit pada 5 Juni lalu, menggantikan PP Nomor 5 Tahun 2021. Regulasi baru ini memperkuat sistem perizinan usaha berbasis risiko atau Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA), platform digital yang memudahkan pelaku usaha menjalankan aktivitas bisnis secara lebih cepat dan efisien.
“Itu kan terobosan kita semuanya. Jadi pemerintah tidak hanya ngomongin tarif. Begitu tarifnya seperti itu [kurang berdaya saing], di komponen struktur biaya yang lain kita bikin supaya lebih efisien,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa sosialisasi terkait kebijakan tarif ekspor ini telah dilakukan kepada para pelaku usaha sejak jauh-jauh hari.
“Seperti yang kemarin waktu dikenakan (tarif) 10 persen kan itu langsung. Sosialisasi juga sudah dilakukan dengan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) dan para eksportir,” ujar Airlangga belum lama ini.
Dengan pemberlakuan tarif ekspor yang mulai berjalan, pemerintah menekankan pentingnya efisiensi biaya dan peningkatan kualitas produk agar ekspor Indonesia tetap kompetitif di pasar internasional, terutama menghadapi negara-negara tetangga yang juga mendapat tarif serupa dari AS.
Sebagai informasi, bahwa tarif resiprokal yang diterapkan pemerintah AS ke sejumlah negara bervariasi, antara 10 persen hingga 41 persen, bergantung pada hubungan dagang bilateral dan status kesepakatan perdagangan masing-masing negara.
Indonesia sendiri mendapat tarif baru sebesar 19 persen, setelah dilakukan negosiasi panjang antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negeri paman Sam tersebut. Namun angka tersebut masih lebih rendah dibanding negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Seperti Laos yang dikenakan tarif jumbo sebesar 40 persen, Myanmar 40 persen, dan Vietnam 20 persen. Sedangkan Thailand, Malaysia, Filipina, dikenakan tarif yang sama seperti Indonesia, yakni 19 persen.