astakom, Jakarta – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie turut merespon terkait adanya keraguan publik terkait laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 yang dirilis Badan Statistik Nasional (BPS), yang bahkan dituding manipulatif.
Dia pun mengajak publik untuk mempercayai data-data yang dirilis oleh BPS, termasuk data mengenai angka pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab menurutnya, kredibilitas BPS sebagai lembaga pemerintah non-parlemen sudah tidak perlu diragukan lagi dalam menjalankan tugasnya menyajikan data-data yang komprehensif.
“Kita mesti percaya. Kalau misalnya angka dari BPS kita tidak percaya, kepada siapa lagi gitu? Mereka kan (BPS adalah lembaga) statistik yang sudah bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bekerja,” kata Anindya dalam keterangannya kepada wartawan usai Pembekalan Retret Kadin 2025 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (7/8) malam, dikutip astakom.com.
Sebagai informasi, BPS baru-baru ini melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tumbuh 5,12 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2025 yang sebesar 4,87 persen. Keraguan pun muncul lantaran selama kuartal kedua tidak ada momen signifikan yang bisa mendorong ekonomi tumbuh hingga di atas 5 persen.
Namun alih-alih meragukan angka yang dipublikasikan, Anindya mendorong semua pihak untuk lebih fokus pada upaya-upaya peningkatan perekonomian nasional ke depan, khususnya pada kuartal III 2025 yang masih akan dihadapkan pada ketidakpastian global.
“Paling bagus kita fokus kepada mengangkat ekonomi lebih banyak lagi, daripada utak-atik angkanya. Karena angka itu memang angka yang sudah di-publish, sudah ditampilkan,” ujarnya menambahkan.
Diketahui sebelumnya, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti telah memberikan penjelasan terkait polemik yang terjadi d tengah publik, ihwal data pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen yang dinilai manipulatif. Ia menegaskan, bahwa seluruh proses perhitungan pertumbuhan ekonomi telah dilakukan sesuai dengan standar internasional dan didukung oleh data yang akurat.
“Data-data pendukungnya sudah oke, sudah semua. (Data) pendukungnya sudah mantap lah,” tegas Amalia di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (6/8) lalu.
Dilansir dari unggahan di akun X (dulunya Twitter) resmi BPS, @bps_statistics, dijelaskan bahwa perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia didasarkan pada nilai Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan total nilai tambah bruto dari seluruh sektor ekonomi melalui aktivitas produksi selama periode waktu tertentu di suatu wilayah.
“Nah angka penjumlahan tadi itu diukur dalam satuan rupiah berdasarkan harga. Sehingga bisa dibandingkan. Diukur berdasarkan harga berlaku (harga pada tahun berjalan) dan harga konstan (harga pada tahun dasar),” tulis BPS dalam unggahan tersebut.
BPS menerangkan, bahwa untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi, digunakan pendekatan PDB atas dasar harga konstan. Perhitungan dilakukan dengan cara mengurangkan nilai PDB pada periode berjalan (t) dengan nilai pada periode sebelumnya (t-1), lalu dibagi dengan nilai periode sebelumnya dan dikalikan 100 persen.
“Jika pertumbuhan ekonomi bernilai positif artinya perekonomian tumbuh. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif artinya perekonomian akan mengalami kontraksi. Jika kontraksi berturut-turut maka dikenal dengan istilah resesi,” jelas BPS.
Untuk menghitung PDB, terdapat tiga pendekatan utama yaitu pendekatan lapangan usaha, pendekatan pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. Namun hingga saat ini, BPS menggunakan dua pendekatan utama dalam menghitung PDB Indonesia, baik secara tahunan maupun triwulanan.
“Sampai saat ini di Indonesia dilakukan melalui pendekatan lapangan usaha dan pengeluaran baik untuk periode triwulanan maupun tahunan,” pungkas BPS.