astakom, Jakarta – Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti membantah narasi yang ramai terkait fenomena rombongan jarang beli atau Rojali dan rombongan hanya nanya atau Rohana, yang disebabkan oleh daya beli yang menurun.
Roro mengatakan, bahwa fenomena tersebut dipicu oleh adanya perubahan perilaku berbelanja, dari yang semula dilakukan secara luring atau di toko fisik menjadi berbelanja daring melalui niaga elektronik (e-commerce).
Baginya, perubahan perilaku tersebut bukan menjadi hal baru dalam perkembangan dunia digital yang meningkat pesat. Di samping itu, setiap konsumen juga memiliki persepsi cara belanja yang berbeda-beda.
“Memang cara kita berbelanja itu berubah, and there’s nothing wrong with that (dan tidak ada yang salah dengan hal itu) sebetulnya, bahwasanya ternyata ada datanya juga,” ujar Roro di Jakarta, dikutip astakom.com, Rabu (6/8).
Ia mengungkapkan bahwa saat ini, masyarakat cenderung mengunjungi pusat perbelanjaan bukan lagi untuk berbelanja, melainkan sekadar menonton film, menikmati kuliner, atau berkumpul bersama orang terdekat.
Sementara itu, sebagian konsumen lainnya kini lebih memilih bertransaksi secara online, seiring maraknya platform e-commerce yang terus bermunculan. Kementerian Perdagangan pun terus mencermati perubahan pola konsumsi ini.
Meski demikian, ia menilai aktivitas belanja secara offline masih cukup tinggi, terutama pada momentum tertentu seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, serta musim libur sekolah.
“Karakter konsumen itu berbeda-beda, ada yang memang belanjanya langsung di mal, selagi makan mungkin, tapi ada juga di mana masyarakat untuk memilih untuk berbelanja online,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto juga sempat menyampaikan hal yang senada perihal fenomena rojali dan rohana. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan, mengingat sektor retail tetap tumbuh positif.
Di sisi lain kontribusi ekonomi digital secara global juga telah menyumbang lebih dari 15,5 persen terhadap total PDB dunia. Hal tersebut mempertegas peran ekonomi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Terlebih lagi, Indonesia menguasai sekitar 40 persen dari total pasar ekonomi digital di kawasan ASEAN. Namun hal itu akan terus ditingkatkan melalui Digital Economy Framework Agreement (DEFA).
“Ekonomi digital targetnya USD2 triliun di ASEAN sedangkan Indonesia USD600 miliar di 2030. Kita berharap USD600 miliar ini bisa dimanfaatkan,” ujar Airlangga dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025, Selasa (5/8).