astakom, Jakarta – Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menegaskan pentingnya kebijakan insentif pangan lokal yang benar-benar menyentuh kebutuhan petani, demi mewujudkan swasembada pangan nasional.
Hal itu disampaikan oleh mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) HKTI dalam Workshop Kebijakan Insentif Pangan Lokal Mendukung Swasembada Pangan yang diselenggarakan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Selasa (5/8),
Mewakili Ketua Umum HKTI Sudaryono, Manimbang menyuarakan perlunya pendekatan nyata dan terintegrasi bagi para pelaku utama di sektor pertanian. Sebab program insentif selama ini banyak yang gagal karena terlalu administratif dan tidak melibatkan petani secara langsung.
“Kami menyarankan agar insentif diberikan dalam bentuk input produksi seperti benih, pupuk organik lokal, alat pascapanen, akses pasar tetap, serta jaminan harga beli minimum bagi komoditas pangan lokal seperti singkong, sagu, sorgum, talas, dan jagung lokal,” ujar Manimbang, dikutip astakom.com, Rabu (6/8).
Manimbang yang juga mantan Ketua DPRD KSB dan eks Sekjen MN KAHMI turut menyoroti pentingnya sinergi lintas sektor dalam perencanaan insentif. Menurutnya, kebijakan terlalu sering terjebak dalam ‘silo sektoral’ yang membuat program tidak berkelanjutan.
“Insentif tidak boleh berhenti pada proyek jangka pendek. Harus ada skema pendanaan berkelanjutan yang masuk dalam dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD, Renstra, dan RKPD,” katanya.
Selain itu, HKTI juga mendorong perhatian pada sektor hilir melalui insentif fiskal bagi UKM pangan lokal, seperti tax holiday, dan program edukasi konsumsi pangan lokal di sekolah serta kalangan ASN. “Tanpa pasar dan permintaan yang pasti, semangat petani untuk memproduksi akan surut kembali,” tegas Manimbang.
Ia juga merespons positif gagasan Prof. Tajuddin Bantacut mengenai penyusunan roadmap pangan lokal nasional, namun ia mengingatkan pentingnya akurasi data. HKTI, kata Manimbang, siap mendukung dengan menyusun basis data petani pangan lokal berbasis desa dan kecamatan.
Lebih lanjut, ia mendorong pelibatan koperasi dan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) sejak tahap perencanaan hingga evaluasi kebijakan. “Kami berharap kebijakan insentif tidak top-down. Petani harus dilibatkan sejak tahap desain hingga evaluasi,” ujarnya.
HKTI juga merujuk pada Perpres Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal sebagai landasan strategis. Perpres ini menekankan delapan pilar kebijakan, dari regulasi hingga edukasi konsumsi B2SA (Beragam, Bergizi Seimbang, Aman), dengan skema pendanaan dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya.
Dalam konteks penguatan pangan lokal, lima komoditas dinilai sangat potensial dikembangkan secara nasional: singkong, jagung, sorgum, ubi jalar, dan talas. Komoditas ini memiliki keunggulan agronomis, nilai ekonomi tinggi, dan relevan untuk mengurangi ketergantungan impor gandum.
“HKTI siap menjadi mitra strategis pemerintah dan akademisi dalam memastikan program berjalan efektif melalui pelatihan, pendampingan teknis, serta pengawasan berbasis komunitas,” pungkas Manimbang.