astakom, Jakarta – Memasuki usia 20 hingga 30 tahun, banyak anak muda mengalami kegelisahan eksistensial yang dalam. Fenomena ini dikenal sebagai quarter life crisis, masa transisi dari remaja ke dewasa yang sering kali disertai kebingungan arah hidup, tekanan sosial, dan rasa tidak cukup.
Menurut Psikolog Remaja Direktorat Kemahasiswaan dan Karir (DKK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Anita A’isah, quarter life crisis sering kali terjadi karena ketimpangan antara tuntutan hidup yang tinggi dan kemampuan pribadi yang belum sepenuhnya matang.
Baca juga
“Ini adalah masa di mana seseorang mulai dibebani berbagai tugas perkembangan dewasa, seperti meraih kemandirian finansial, membangun relasi, hingga menentukan arah karier. Namun sayangnya, banyak dari mereka belum memiliki kompetensi atau kepercayaan diri yang cukup untuk menjawab tuntutan itu,” jelas Anita dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com, Sabtu (26/7).
Jika fase ini dilewati dengan baik, seseorang akan mencapai fase intimasi, yaitu kemampuan menjalin hubungan yang sehat dan bermakna. Namun jika gagal, bisa muncul rasa kesepian yang mendalam, bahkan ketika berada di tengah keramaian.
“Kesepian dalam quarter life crisis bukan sekadar tidak punya teman saja, melainkan perasaan hampa karena tidak mendapatkan rasa aman, dihargai, dan dicintai. Itu bisa berdampak serius pada semangat belajar, kenyamanan kerja, bahkan kestabilan emosional. Ketika hal tersebut tidak ditangani dan disadari dengan baik, maka bisa berdampak pada kondisi psikologis seseorang,” ujarnya.
Anita menjelaskan bahwa pola asuh dan pengalaman masa kecil juga memainkan peran penting dalam keberhasilan individu melewati masa krisis ini. Luka-luka emosional yang belum sembuh akan ikut terbawa dan memengaruhi cara seseorang menghadapi tekanan hidup saat dewasa.
Meski demikian, quarter life crisis bukanlah jalan buntu. Generasi muda dapat menghadapinya dengan kesadaran dan strategi yang sehat. Menurut Anita, langkah awal yang penting adalah menerima luka masa lalu dan berdamai dengannya.
“Semakin kita menyandarkan kebahagiaan pada apresiasi atau ekspektasi orang lain, kita akan merasa tidak cukup bahkan tidak bahagia. Kunci untuk bertumbuh adalah dengan menghargai proses, bukan semata hasil. Lebih dari itu, kita hanya perlu menjadi lebih baik dari yang kemarin dan terus menambah pengetahuan, salah satunya dengan cara membaca,” tegas Anita.
Berdasarkan riset terbaru yang dibacanya, Anita menyebutkan dua faktor utama penentu keberhasilan melewati quarter life crisis, yakni komitmen dan spiritualitas.
“Ketika seseorang memiliki spiritualitas yang kuat, maka dia akan lebih mampu bersyukur, menikmati proses, dan meletakkan harapannya kepada Tuhan, bukan sekadar pada validasi eksternal. Bahkan hal sederhana seperti memulai hari dengan sholat subuh, bisa memberi efek besar pada ketenangan sepanjang hari,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa quarter life crisis seharusnya dipandang sebagai fase bertumbuh, bukan sebagai ancaman. Di momen ini, individu berkesempatan untuk mengenal nilai-nilai hidupnya, memperkuat karakter, dan menyusun masa depan dengan kesadaran yang lebih dalam.
“Tidak perlu terlalu cemas tentang masa depan. Selama kalian bertumbuh setiap hari dengan menambah ilmu, melatih disiplin, dan menjaga koneksi spiritual, maka kalian sedang membentuk versi terbaik dari dirimu. Hidup bukan soal membahagiakan semua orang, tetapi tentang menjadi individu yang lebih bermakna,” tutup Anita.