astakom, Jakarta – Istilah ‘Serakahnomics’ yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto sebagai kritik terhadap praktik korupsi di kalangan pengusaha menuai sorotan dari kalangan akademisi, salah satunya yakni Guru Besar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Muhammad Faris Al-Fadhat.
Prof. Faris turut menyoroti pernyataan Presiden Prabowo yang mengajak perguruan tinggi untuk membuka jurusan dengan nama ‘Serakahnomics’ tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual dalam mengkaji keserakahan dalam sistem ekonomi.
Baca juga
Menurutnya, praktik keserakahan dalam pengelolaan ekonomi sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo. Fenomena ini melibatkan aktor-aktor kebijakan hingga perantara (middle man) yang memanfaatkan celah dalam sistem distribusi.
“Perekonomian kita memang memberi ruang bagi pengelolaan yang tidak adil,” ujar Prof. Faris dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com, Sabtu (26/7).
Dia menilai, kekhawatiran Presiden Prabowo terhadap ‘Serakahnomics’ menunjukkan dua hal penting. Pertama, bahwa masalah keserakahan sudah menjadi persoalan sistemik yang kompleks, seperti tercermin dari kasus kelangkaan minyak goreng dan beras.
“Ini menandakan persoalan yang sangat kompleks. Padahal, kita sudah memiliki institusi seperti Kementerian Perdagangan dan Bulog untuk mengawal distribusi pangan,” tegasnya.
Kedua, menurutnya, pernyataan Prabowo mencerminkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menata distribusi dan tata kelola pangan nasional. Meskipun kelembagaan telah tersedia, efektivitas pelaksanaan di lapangan menjadi tantangan utama.
Prof. Faris menilai istilah ‘Serakahnomics’ merupakan strategi komunikasi Presiden yang cukup atraktif untuk menjelaskan ketimpangan ekonomi secara luas. Ia bahkan membandingkannya dengan krisis ekonomi Venezuela yang terjadi karena elite penguasa mempraktikkan pengelolaan sumber daya yang serakah dan tidak berkeadilan.
Namun, terkait ajakan membuka jurusan ‘Serakahnomics’, Faris mengingatkan agar pernyataan tersebut tidak ditafsirkan secara literal.
“Dalam istilah Arab, itu kita sebut ‘majas’ atau perumpamaan. Jadi bukan berarti kampus harus membuka jurusan bernama Serakahnomics,” jelasnya.
Menurut Wakil Rektor UMY Bidang Pengembangan Universitas dan Al-Islam Kemuhammadiyahan tersebut, maksud dari Presiden adalah agar kampus lebih aktif dalam mengkaji fenomena ketimpangan ekonomi secara struktural, serta menyediakan kajian akademik yang bisa menjadi landasan kebijakan publik.
Faris mencontohkan campuran Pertamax dan Pertalite sebagai praktik keserakahan yang terjadi bukan di level produksi, melainkan distribusi. Masalah seperti ini, katanya, perlu diteliti lebih dalam oleh akademisi agar solusi yang ditawarkan tidak bersifat reaktif semata.
“Pemerintah mengajak kita, dan saya kira perlu kita sambut secara positif. Kampus punya peran penting dalam mengurai masalah-masalah tersebut secara ilmiah,” ujarnya.
Ia juga berharap ada ruang kolaborasi yang lebih terbuka antara pemerintah dan akademisi agar riset-riset ilmiah dapat dijadikan fondasi kebijakan publik yang adil dan berkelanjutan.