astakom, Jakarta – Kematian Brigadir Muhammad Nurhadi membuka luka besar dan mencoreng citra institusi kepolisian. Bukan hanya karena korban adalah anggota Propam Polda NTB, tetapi karena kematiannya terjadi dalam pesta bersama atasan yang kini menjadi tersangka.
Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding menyebut peristiwa ini sebagai cerminan gaya hidup aparat yang menyimpang serta belum hilangnya budaya kekerasan di tubuh Polri.
Baca juga
“Bagaimana Polisi sebagai pengayom masyarakat dapat dipercaya bila personelnya kerap kali diketahui melakukan hal-hal yang melanggar kode etik dan nilai-nilai moral, serta pidana,” ujar Sudding dalam keterangannya, dikutip astakom.com, Rabu (9/7).
Brigadir Nurhadi ditemukan tewas dalam kolam renang sebuah vila di Gili Trawangan usai pesta yang melibatkan Kompol YG dan Ipda HC, serta dua perempuan.
Dari hasil autopsi, ditemukan sejumlah luka dan tanda-tanda kekerasan, termasuk patahnya tulang lidah korban, indikasi kuat ia sempat dicekik sebelum tenggelam.
Motif sementara yang terungkap menyebut Nurhadi sempat merayu rekan wanita dari salah satu atasannya, memicu terjadinya kekerasan. Perempuan berinisial M (23), salah satu tamu dalam pesta tersebut, juga ditetapkan sebagai tersangka setelah mengakui menerima bayaran Rp10 juta untuk menemani pesta tersebut.
Menurut Sudding, kasus ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam pembinaan internal Polri. “Kasus ini menunjukkan bahwa pembinaan personel belum menyentuh akar budaya kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Reformasi Polri tidak cukup hanya struktural, harus sampai pada pembenahan SDM secara serius,” ujarnya.
Ia juga mengecam bagaimana awalnya pihak kepolisian memberikan narasi bahwa korban meninggal karena tenggelam. Narasi ini baru berubah setelah fakta-fakta medis dan rekaman CCTV terungkap ke publik.
“Bila benar terdapat upaya menutupi atau memanipulasi informasi, hal ini harus ditindaklanjuti secara serius,” tegas Sudding.
Polri, kata dia, harus menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan di tubuhnya sendiri. Dan negara, termasuk pimpinan tertinggi di institusi kepolisian, harus memberi pesan tegas bahwa tidak akan ada perlindungan terhadap pelaku kejahatan terlepas dari pangkat, jabatan, atau seragam yang dikenakan.
Ia pun mengingatkan, bahwa institusi penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan keadilan, bukan tempat berlindung bagi pelaku penyimpangan.
“Kita bicara tentang kepercayaan publik. Kalau institusi seperti Polri gagal menunjukkan ketegasan terhadap pelanggar dari dalam, maka yang hancur bukan hanya satu nama, tapi kredibilitas hukum secara keseluruhan,” tutupnya.