astakom, Jakarta – Sistem ekonomi Islam dipandang sebagai sistem ekonomi yang paling relevan sebagai solusi dalam menghadapi ancaman krisis global. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sutrisno.
Dia menyampaikan, krisis global yang ditandai oleh meningkatnya kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakpastian ekonomi mendorong banyak negara untuk meninjau ulang sistem ekonomi yang selama ini digunakan.
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
Kondisi ini memperkuat urgensi pencarian model ekonomi yang lebih tangguh dan berkeadilan dalam menghadapi tantangan zaman. Salah satu pendekatan yang dinilai memiliki daya tahan terhadap krisis adalah ekonomi Islam.
“Ekonomi Islam tidak hanya tahan terhadap gejolak pasar, tetapi juga bertumpu pada sektor riil,” ujar Sutrisno dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com, Rabu (9/7).
Prinsip-prinsip seperti larangan riba, kata dia, membuat sistem ini relatif lebih stabil dalam menghadapi krisis keuangan. Pasalnya dalam sistem ekonomi Islam, mendorong transaksi yang adil dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
“Ekonomi Islam tidak hanya berbicara soal halal atau haram dalam bertransaksi, tetapi merupakan sistem nilai yang utuh,” terangnya.
Dosen program studi Ekonomi Syariah itu menekankan, bahwa ekonomi Islam bukan semata sistem keuangan. Di dalamnya terdapat keadilan distributif, perlindungan terhadap kelompok lemah, etika bisnis, dan mekanisme sosial yang kuat seperti zakat dan wakaf.
“Sistem ini tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi mengedepankan kemaslahatan umat. Inilah yang membedakan ekonomi Islam dari sistem lainnya,” ujar Sutrisno.
Menurutnya, zakat dan wakaf saat ini tidak hanya menjadi tuntutan keagamaan, tetapi juga instrumen strategis untuk membangun ketahanan ekonomi jangka panjang.
Zakat bersifat jangka pendek, langsung menyentuh kebutuhan mustahik, baik konsumsi, pendidikan, atau modal usaha. Sementara wakaf bersifat jangka panjang, memungkinkan pembangunan sekolah, rumah sakit, kebun, toko, hingga startup berbasis wakaf.
“Bayangkan jika mustahik yang dibina melalui zakat dilibatkan dalam pengelolaan aset wakaf tersebut, maka mereka bukan hanya keluar dari kemiskinan, tapi juga menjadi pelaku ekonomi yang mandiri,” jelasnya.
Namun, agar zakat dan wakaf mampu berperan optimal dalam menghadapi krisis global, dibutuhkan perubahan tata kelola dan cara pandang.
Oleh karena itu, Sutrisno menekankan perlunya sinergitas untuk mendorong revolusi manajemen, kemitraan strategis, regulasi pendukung, serta pengelolaan yang profesional dan transparan.
Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis data dan teknologi agar penyaluran zakat dan wakaf lebih tepat sasaran. Dalam banyak kasus, distribusi yang tidak akurat justru memperparah ketimpangan atau menciptakan ketergantungan baru.
Misalnya dengan mengintegrasikan data mustahik ke dalam sistem nasional seperti DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan memverifikasinya secara langsung oleh amil dan nazhir profesional.
“Setiap rupiah zakat dan setiap jengkal tanah wakaf harus benar-benar berdampak,” tegasnya.