astakom, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera menyoroti peristiwa banjir yang kembali merendam sejumlah wilayah di Daerah Khusus Jakarta pada akhir pekan lalu.
Banjir yang dipicu hujan lebat dan pasang air laut ini menyingkap kembali problem laten ibu kota, yakni ketahanan terhadap bencana iklim yang belum terbangun secara sistemik.
Baca juga
Mardani menilai, penanganan banjir di Jakarta selama ini masih bersifat tambal sulam. Untuk itu, ia mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera berkolaborasi mengatasi masalah klasik ini.
“Kolaborasi pusat dan daerah sangat diperlukan. Tentunya, tanpa kolaborasi tutup lubang gali lubang,” kata Mardani dalam keterangan pers yang diterima astakom.com, Senin (7/7).
Legislator dari dapil DKI Jakarta I itu menyampaikan keprihatinan atas dampak banjir, khususnya di Jakarta Timur, di mana sebanya 47 RT dilaporkan terendam.
Dalam hal ini, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menekankan pentingnya penyediaan tempat pengungsian yang layak bagi warga terdampak.
“Kita berharap penanganan banjir dapat cepat diatasi. Termasuk penyediaan pengungsian yang layak dan bantuan kepada warga yang terdampak,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta per pukul 06.00 WIB, Senin (7/7), sebanyak 109 RT terendam banjir, yang tersebar di Jakarta Pusat (17 RT), Jakarta Barat (15 RT), Jakarta Selatan (39 RT), dan Jakarta Timur (47 RT).
Mardani menegaskan, banjir di Jakarta bukan semata bencana musiman, melainkan indikasi dari persoalan struktural yang belum tuntas, seperti ketahanan infrastruktur drainase, pengelolaan sungai, hingga perencanaan tata ruang.
“Setiap kali curah hujan tinggi disertai pasang air laut, Jakarta lumpuh. Ini bukan lagi sekadar bencana musiman, tapi cermin dari problem struktural, ketahanan infrastruktur drainase, pengelolaan sungai, dan perencanaan tata ruang yang belum menjawab tantangan perkotaan modern,” papar Mardani.
Ia juga meminta agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak hanya fokus pada internal wilayah, melainkan membangun koordinasi lintas daerah bersama pemerintah daerah di kawasan penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
“Jika Jakarta lumpuh kan juga akan berdampak ke berbagai daerah penyangga. Karena banyak warga Bodetabek yang kerja di Jakarta,” ujarnya.
Mardani juga mengkritik pendekatan mitigasi yang hanya berpusat pada indikator siaga dari pos pantau air dan pintu bendung. Menurutnya, sistem mitigasi harus dikaitkan dengan respons lapangan yang cepat dan berbasis data real-time.
“Fungsi bendung, pintu air, dan kanal-kanal utama seperti di Katulampa, Karet, Pesanggrahan, hingga Pasar Ikan, tidak boleh hanya menjadi indikator status siaga. Tapi harus dikoneksikan dengan sistem mitigasi cepat, terpadu, dan berbasis data real-time,” tegasnya.
“Pintu air dan pos pantau sudah canggih, tapi jika tidak didukung oleh respons lapangan yang cepat, peringatan dini bisa kehilangan maknanya,” imbuhnya.
Untuk mengatasi persoalan secara menyeluruh, Mardani mendorong pemerintah menyusun peta jalan (road map) yang konkret, teruji, dan berbasis pola anggaran jangka panjang. Ia mengingatkan agar setiap langkah solusi benar-benar mengutamakan keselamatan warga.
“Petanya harus jelas, solusinya harus teruji, anggarannya harus jelas pembagian bebannya. Mesti pakai pola anggaran multiyears,” sebutnya.
Di akhir pernyataannya, Mardani menegaskan bahwa banjir Jakarta bukan soal takdir, melainkan soal pilihan kebijakan dan kualitas eksekusi.
“Banjir tidak bisa kita anggap sebagai nasib. Ini soal pilihan kebijakan, kualitas eksekusi, dan keberpihakan pada keselamatan warga,” ucapnya.
“Setiap tahun kita diingatkan oleh air bah, dan setiap tahun pula kita dituntut untuk berbenah. Harus ada perbaikan yang komprehensif,” pungkasnya.