Rabu, 13 Agu 2025
Rabu, 13 Agustus 2025

Konflik Timur Tengah Picu Krisis Energi, Percepatan Transisi Energi Jadi Solusi

astakom, Jakarta – Ketegangan di Timur Tengah akibat konflik bersenjata yang terus meningkat antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran global, tak hanya dari sisi politik dan keamanan, tetapi juga pada sektor energi yang sangat vital.

Ketegangan di kawasan penghasil minyak dunia itu melonjak tajam setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir milik Iran, yang menjadi salah satu eskalasi paling serius dalam konflik Iran-Israel.

Aksi militer ini juga dinilai telah memperluas dimensi konflik ke ranah geopolitik global. Dampaknya pun dirasakan jauh hingga Indonesia, terutama pada ketahanan energi nasional. Pasalnya, Indonesia masih bergantung pada impor energi.

“Indonesia sangat bergantung pada negara lain untuk pasokan energi, khususnya dari Qatar dan Arab Saudi,” ujar Pakar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Faris Al-Fadhat, dikutip astakom.com, Minggu (22/6).

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, perdagangan energi Indonesia dengan Qatar tercatat sebesar 680 juta USD. Sementara dengan Arab Saudi mencapai 800 juta USD.

“Jika konflik memburuk dan menyeret kedua negara itu, Indonesia bisa terdampak lebih besar, terutama pada sektor energi yang sangat krusial,” ujarnya.

Menghadapi ancaman ini, Prof. Faris menilai bahwa percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) menjadi solusi strategis jangka panjang. Namun, ia menegaskan, upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan kebijakan dan insentif yang jelas.

Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang mendukung serta memberikan insentif fiskal bagi sektor swasta agar tertarik berinvestasi di bidang energi baru dan terbarukan (EBT).

Prof. Faris menyebut situasi global saat ini sebagai The Great Disruption, yakni gabungan antara eskalasi geopolitik dan krisis tata kelola ekonomi internasional. Ia juga menyoroti pergeseran drastis dalam hubungan antarnegara di era modern.

“Banyak negara mulai meninggalkan tatanan rule-based dan lebih mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Indonesia harus cermat membaca arah, siapa kawan dan siapa lawan,” pungkasnya.

Rubrik Sama :

Perkuat Pembangunan Berkelanjutan, Indonesia dan PBB Luncurkan UNSDCF 2026-2030

Jakarta, astakom.com – Pemerintah Indonesia bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi meluncurkan Indonesia-United Nations Sustainable Development Cooperation Framework (UNSDCF) 2026-2030 di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu...

Bertemu Presiden Peru, Puan: Mereka Berharap Kerja Sama Machu Picchu-Candi Borobudur dan Pertanian

astakom.com, Jakarta – Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan, DPR RI akan selalu mendukung upaya dari Presiden RI, Prabowo Subianto untuk mengembangkan dan memperluas...

Indonesia-Belarus Perkuat Kerja Sama Industri, Targetkan Nilai Perdagangan Ditarget Naik Lima Kali Lipat

Pemerintah Indonesia dan Belarus sepakat memperkuat kemitraan strategis di sektor industri, sebagai tindak lanjut dari pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Belarus, Aleksandr Lukashenko di Minsk pada 15 Juli 2025 lalu.

Multikulturalisme Jadi Kunci Dunia yang Lebih Damai dan Sejahtera

Nilai-nilai multikulturalisme dan kemanusiaan dalam menciptakan dunia yang lebih damai, stabil, dan sejahtera. Hal ini sebagaimana disampaikan Guru Besar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Faris Al-Fadhat.

Terkini

Viral

Videos