astakom, Jakarta – LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) menyarankan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) tetap di level 5,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur Juni 2025.
Kebijakan menahan suku bunga ini dinilai sebagai jalan terbaik untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di tengah penurunan inflasi dan penguatan rupiah, yang dipicu oleh berbagai tekanan eksternal.
Baca juga
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky menyampaikan bahwa keputusan tersebut perlu diambil dengan mempertimbangkan transmisi kebijakan moneter sebelumnya, serta potensi tekanan eksternal terhadap rupiah.
“Kemudian, Bank Indonesia juga perlu terus memerhatikan transmisi dan efektivitas dari pemotongan suku bunga acuan sebelumnya sembari menjaga fokus dalam antisipasi dampak tekanan eksternal terhadap rupiah,” ujar Teuku Riefky dalam keterangannya, dikutip astakom.com, Rabu (18/6).
Ia menjelaskan, bahwa meskipun BI telah menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin bulan lalu, inflasi Mei 2025 cenderung melandai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi umum tercatat sebesar 1,6 persen (year-on-year), menurun dari 1,95 persen pada April.
Menurut Riefky, kondisi ini dipicu oleh berakhirnya tekanan harga musiman akibat Idulfitri serta normalisasi permintaan bahan pangan. Namun, ia juga menyoroti munculnya fenomena konsumsi baru di tengah penurunan daya beli masyarakat.
“Lebih lanjut, adanya fenomena lipstick effect, di mana masyarakat yang menghadapi penurunan daya beli tetap melakukan pengeluaran pada barang-barang kecil dan terjangkau yang memberikan kepuasan instan. Fenomena ini masih bertahan sejak tahun lalu,” katanya.
Riefky juga mencatat bahwa pemangkasan suku bunga bulan lalu belum diikuti oleh lonjakan signifikan dalam pertumbuhan kredit.
Meski demikian, nilai tukar rupiah justru mengalami penguatan sebesar 1,03 persen dari Rp16.440 menjadi Rp16.273 per dolar AS selama periode 16 Mei hingga 16 Juni, didorong oleh arus modal masuk yang mencapai 1,59 miliar dolar AS atau setara Rp25,92 triliun.
Dengan kondisi tersebut, Riefky mengingatkan BI agar tetap waspada terhadap dinamika global yang bisa berdampak negatif dalam jangka pendek, seperti kebijakan agresif Amerika Serikat (AS), maupun konflik yang memanas di Timur Tengah.
“Akan tetapi, masih ada risiko meningkatnya ketidakpastian di jangka pendek seiring dengan pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk melanjutkan negosiasi perdagangan dan munculnya tensi geopolitik baru di Timur Tengah,” ujarnya.