astakom, Bogor — Langit pagi itu cerah, aroma kemenyan dan suara gamelan menyatu dalam harmoni yang hanya bisa ditemukan di desa yang masih menjaga akarnya. Di Cijayanti, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, masyarakat berkumpul merayakan Hari Jadi Desa (HJC) ke-98 sebuah tradisi yang tak hanya menandai usia, tapi juga menghidupkan kembali denyut budaya Sunda.
Di antara warga, anak-anak mengenakan pakaian adat, para ibu sibuk menyiapkan tumpeng, dan pemuda-pemudi menjaga panggung pertunjukan seni. Di tengah semarak itu, hadir sosok yang tak asing bagi masyarakat Bogor: Marlyn Maisarah, Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, yang datang bukan hanya sebagai pejabat, tapi sebagai anak bangsa yang mencintai budaya leluhurnya.
Baca juga
“Hari ini bukan sekadar perayaan ulang tahun desa. Ini adalah bentuk cinta kita terhadap budaya. Kegiatan seperti ini memperkuat siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah,” ucap legislator Gerindra Marlyn dalam sambutannya, disambut riuh tepuk tangan warga yang memenuhi lapangan desa, Rabu (4/6).
Tema perayaan tahun ini, “Geulis Lembur na, Bagja Warganya” Indah Desanya, Bahagia Warganya—bukan sekadar slogan. Ia hidup dalam setiap kegiatan: dari lomba tumpeng antar RT, pagelaran seni, doa dan sholawat bersama, hingga prosesi adat Sunda yang sarat makna.
Menurut anak buah Prabowo Subianto ini, partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat—anak-anak, tokoh adat, pelaku UMKM, hingga organisasi pemuda—menjadi bukti bahwa semangat gotong royong dan kearifan lokal masih terjaga dengan baik.
“Desa seperti Cijayanti punya potensi besar, baik dari segi budaya maupun alam. Tapi potensi itu tak akan berarti tanpa perhatian khusus dari pemerintah. Karena itu saya akan terus mendorong agar lebih banyak program pusat masuk ke desa-desa seperti ini,” ujar Marlyn.
Sebagai legislator dari Dapil Jawa Barat V, Marlyn yang juga istri Menteri Luar Negeri Sugiono menegaskan bahwa pembangunan tak boleh berhenti pada infrastruktur. “Pembangunan fisik harus disertai dengan tata kelola sosial dan lingkungan. Jangan sampai identitas desa hilang karena kemajuan yang tak seimbang.”
Ia pun mengajak seluruh pihak, dari pusat hingga daerah, untuk bersinergi membangun desa berbasis kearifan lokal. “Melestarikan budaya bukan berarti menolak kemajuan. Justru dengan merawat jati diri, desa akan punya fondasi kuat untuk menghadapi perubahan zaman.”
HJC ke-98 bukan hanya sebuah acara tahunan, tapi sebuah cermin—yang memantulkan wajah desa yang bangga pada warisan budayanya, dan yang tengah bersiap menyongsong masa depan dengan langkah penuh percaya diri.