astakom, Jakarta – Kata orang, sopan santun itu penting. Tapi siapa sangka, bagi salah satu chatbot Artificial Inteligence (AI) yang sejauh ini disebut menjadi yang paling canggih di dunia, ChatGPT, kesopanan justru bikin rugi besar.
OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, dikabarkan mengalami kerugian sekitar USD 10,5 juta atau sekitar Rp168 miliar hanya karena AI-nya terlalu sering menggunakan kata-kata seperti ‘tolong’, ‘maaf,’ dan frasa sopan lainnya.
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
Kerugian itu sebagaimana disampaikan oleh CEO OpenAI, Sam Altman melalui sebuah cuitan di akun X resminya, @Sama.
“Saya jadi bertanya-tanya berapa banyak uang yang hilang dari OpenAl akibat biaya listrik yang dikeluarkan orang-orang yang mengucapkan ‘tolong’ dan ‘terima kasih’ kepada model mereka,” tulis Sam, sebagaimana dikutip astakom.com, Rabu (23/4).
Kenapa Bisa Rugi?
Masalahnya bukan pada etika, tapi efisiensi pemrosesan data. Setiap kata yang diketik dan dihasilkan oleh ChatGPT memerlukan daya komputasi, dan itu berarti biaya. Semakin panjang respons yang diberikan AI, maka semakin tinggi pula konsumsi daya server.
Menurut laporan internal yang bocor ke media teknologi, ChatGPT mengalami lonjakan biaya karena ‘over-polite phrasing’, jawaban yang terlalu panjang dan penuh basa-basi.
Contohnya, daripada menjawab ‘Ya’, ChatGPT akan menjawab, ‘Tentu, dengan senang hati saya akan membantu Anda.’ Kedengarannya ramah, tapi untuk mesin, itu berarti ribuan karakter tambahan per hari, bahkan per detik.
Skala pengguna ChatGPT yang sudah mencapai ratusan juta membuat pengaruh kata-kata ini cukup signifikan. Biaya server yang digunakan OpenAI ditaksir mencapai jutaan dolar per bulan.
Dan kata-kata ‘maaf atas ketidaknyamanannya’ yang terkesan sepele itu, jika dikalikan jutaan percakapan setiap hari, bisa membakar dana miliaran dalam setahun.
Atas permasalahan tersebut, OpenAI, sebagaimana dilansir dari laman GSM Arena sedang mengembangkan versi ‘hemat kata’ untuk mengurangi pemborosan biaya tanpa mengorbankan kualitas jawaban.
Dari kisah ini, muncul pertanyaan menarik tentang haruskah kecerdasan buatan tetap sopan jika itu berdampak besar pada biaya operasional? Namun di satu sisi, pengguna merasa nyaman dengan AI yang ramah dan empatik.
Di sisi lain pula, perusahaan teknologi seperti OpenAI ini harus realistis dengan angka pengeluaran yang terus membengkak, untuk dapat terhindar dari risiko bangkrut.
Untuk saat ini, memang belum ada keputusan final dari OpenAI terkait efisiensi kata ini. Namun ada satu hal pasti dan related dengan kondisi saat ini, yakni kesopanan ternyata ada harganya.
Jadi, kalau suatu hari ChatGPT jadi lebih to the point dan berhenti bilang ‘terima kasih sudah bertanya,’ Gen Asta jangan kaget ya. Mungkin itu menjadi langkah Open AI untuk menyelamatkan uang ratusan miliar rupiah.