astakom, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa kekayaan budaya maritim Indonesia memiliki peran penting dalam menangkal penyebaran paham radikalisme.
Menag Nasaruddin menyoroti keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan ribuan budaya, suku, dan bahasa, namun tetap hidup rukun dalam satu bingkai persatuan.
Baca juga
“Kalau kita keliling dunia, tidak ada negara seperti Indonesia. Indonesia terdiri dari 17.380 pulau, 1.349 suku bangsa, 718 bahasa daerah, dan 2.240 komunitas adat. Tapi semua itu bisa hidup berdampingan secara damai,” ujarnya di Jakarta, sebagaimana dikutip astakom.com, Rabu (23/4).
Ia menilai, kekuatan Indonesia justru terletak pada karakter masyarakat maritim yang terbuka dan inklusif. Budaya ini dianggap lebih toleran dibandingkan budaya kontinental yang cenderung eksklusif dan hirarkis.
Menag juga menekankan bahwa meski Indonesia tidak memiliki figur kenabian seperti di Timur Tengah, masyarakatnya dikenal memiliki adab dan kedisiplinan tinggi.
“Di Indonesia, tidak ada nabi. Tapi masyarakatnya sudah sopan dan santun. Kita tiap tahun mendapat penghargaan sebagai jemaah haji paling tertib dan disiplin,” jelasnya.
Menurutnya, sikap kolaboratif masyarakat kepulauan tumbuh dari filosofi kehidupan laut yang mengajarkan untuk berbagi dan hidup berdampingan.
“Filosofinya, di mana ada pulau, kita boleh sandarkan perahu. Di mana ada sungai, kita boleh ambil air. Api, air, dan pantai tidak boleh dimonopoli. Karena itu, masyarakat maritim lebih kolaboratif dan terbuka,” lanjutnya.
Menag dalam kesempatan yang sama juga membandingkan kondisi Indonesia dengan sejumlah negara berbudaya kontinental seperti Afghanistan, Suriah, dan Sudan, yang meski secara etnis dan bahasa lebih homogen, justru lebih rawan konflik.
Ia menegaskan, bahwa radikalisme yang berkembang di Indonesia kerap kali bukan berasal dari akar lokal, melainkan dari provokasi dan pengaruh asing.
“Karena itu, radikalisme di Indonesia biasanya dipicu oleh pengaruh luar. Misalnya, penolakan pembangunan rumah ibadah, baik gereja atau masjid, sering bukan berasal dari warga lokal, tapi dari pendatang yang diprovokasi oleh jaringan luar,” ungkapnya.
Lebih jauh, Menag mengungkapkan fakta mengejutkan tentang meningkatnya peran perempuan dalam jaringan radikalisme. Ia menjelaskan bahwa konten-konten radikal di media sosial kini justru banyak disebarkan oleh perempuan.
“Konten radikal sekarang justru banyak diisi oleh perempuan. Karena mereka lebih intens berinteraksi dengan agama dan medsos. Bahkan ada suami yang kerja di deradikalisasi, istrinya justru agen radikalisme,” kata Menag.
Ia menekankan bahwa ancaman radikalisme kini berkembang secara dinamis dan tidak lagi bisa dipahami secara konvensional. Untuk itu, aparat seperti Densus 88 diminta untuk memiliki pendekatan yang lebih komprehensif.