astakom, Jakarta – Batas akhir penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) berakhir pada 11 April 2025. Sebanyak 13.710 pejabat belum menyerahkan berkas asetnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 416.348 pejabat yang dikenai kewajiban laporan, KPK baru menerima 402.638 LHKPN.
“Sampai dengan batas akhir pelaporan LHKPN untuk tahun pelaporan 2024, yakni pada 11 April 2025, KPK telah menerima sejumlah 402.638 LHKPN, dari total 416.348 Wajib Lapor, atau persentase pelaporan tepat waktunya mencapai 96,71 persen,” ujar Anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Selasa (15/4).
Baca juga
Berdasarkan catatan KPK, tingkat kepatuhan paling rendah adalah pejabat legislatif. Dari 20.787 wajib lapor, baru 17.846 yang sudah melaporkannya atau setara 85,85 persen.
Pejabat bidang yudikatif menjadi bidang dengan kepatuhan tertinggi. Dari 17.931 wajib laporan hanya tiga yang belum melakukannya atau 99,998 persen.
Pejabat bidang eksekutif memiliki tingkat kepatuhan 96,99 persen. Dari 332.822 wajib lapor, masih ada 10.015 yang belum melaporkan LHKPNnya.
Sedangkan bidang BUMN/BUMD memiliki tingkat kepatuhan 98,32 persen. Angkanya dari 44.808 wajib lapor, masih ada 751 yang belum melaporkannya.
Budi Prasetyo menyampaikan, kepatuhan pelaporan LHKPN merupakan komitmen nyata sekaligus teladan baik dalam upaya pencegahan korupsi dari pejabat publik. Karena itu, KPK mengapresiasi tiap penyelenggara negara yang telah patuh melaksanakannya.
”KPK selanjutnya akan melakukan verifikasi administratif untuk memeriksa kelengkapan pelaporan LHKPN yang telah disampaikan. Selanjutnya, jika sudah dinyatakan lengkap, LHKPN akan dipublikasikan pada laman elhkpn.kpk.go.id,” jelas Budi.
Di sisi lain, penyelenggara negara yang belum melaksanakan kewajiban tetap diimbau untuk menyerahkan LHKPN. Meski terlambat, pejabat publik harus menaatinya. Hal itu sebagai bentuk transparansi atas kepemilikan aset atau harta kekayaan.
Pejabat publik yang terlambat dan tidak melaporkan LHKPN juga bakal menerima sanksi administratif sesuai aturan perundang-undangan. Namun, pemberi sanksi adalah pimpinan atau otoritas instansi masing-masing, bukan KPK.
Pada intinya, KPK berharap tingkat kepatuhan LHKPN bisa digunakan sebagai data pendukung bagi manajemen aparatur sipil negara. Salah satunya adalah pertimbangan dalam promosi atau mutasi para pegawai.(**)