astakom, Washington – Donald Trump kembali meluncurkan kebijakan tarif tinggi terhadap hampir seluruh negara di dunia, dengan dalih bahwa tarif tersebut bersifat “timbal balik”. Namun, di balik jargon tersebut, terdapat realitas yang menunjukkan bahwa pendekatan ini penuh kontradiksi dan cacat secara fundamental. Alih-alih memperkuat ekonomi domestik, kebijakan ini justru berpotensi memicu inflasi, menghambat reindustrialisasi, dan merugikan mayoritas masyarakat Amerika, sementara hanya menguntungkan segelintir elit kaya melalui pemotongan pajak.
Pemerintahan Trump menyatakan bahwa tarif AS didasarkan pada prinsip timbal balik, namun pernyataan ini dengan cepat dipatahkan oleh pengamat dan ekonom.
Baca juga
Jurnalis keuangan James Surowiecki menjelaskan bahwa Amerika “tidak benar-benar menghitung tarif + hambatan non-tarif, seperti yang mereka katakan. Sebaliknya, untuk setiap negara, mereka hanya mengambil defisit perdagangan kita dengan negara itu dan membaginya dengan ekspor negara itu kepada kita.” Ia menyebut metode tersebut sebagai “omong kosong yang luar biasa.” ucapnya pada media seperti yang dikutip Astakom dari geopoliticaleconomy.com, Minggu (6/4).
Menanggapi kritik tersebut, Wakil Sekretaris Pers Amerika Kush Desai bersikeras bahwa pemerintah memang menghitung hambatan perdagangan, namun pernyataan itu langsung dibantah oleh catatan komunitas di media sosial. Bahkan ketika Desai merujuk ke dokumen resmi Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), yang dimaksudkan untuk memperjelas proses penentuan tarif, justru menunjukkan bahwa tarif ditetapkan dengan cara yang sangat sederhana dan tidak mempertimbangkan hambatan riil.
USTR bahkan mengakui bahwa “menghitung secara individual dampak defisit perdagangan dari puluhan ribu tarif, peraturan, pajak, dan kebijakan lain di setiap negara itu rumit, jika bukan tidak mungkin”, sehingga mereka menggunakan pendekatan proyeksi dengan rumus.
Meski ditampilkan menggunakan simbol Yunani agar tampak teknis, pada dasarnya rumus tersebut hanyalah cara linier untuk mengalikan defisit perdagangan menjadi tarif, tanpa mempertimbangkan tarif aktual negara mitra dagang.
Akibatnya, seperti disimpulkan oleh Surowiecki, tarif tersebut “tidak berdasarkan tarif yang dikenakan negara lain kepada AS, melainkan pada neraca perdagangan AS dengan negara lain,” Dengan kata lain, kebijakan ini bukan timbal balik, melainkan unilateral dan agresif.
Kebijakan Trump ini menjangkau hampir seluruh mitra dagang utama AS. Setelah apa yang disebut sebagai “Hari Pembebasan”, sejumlah negara pengeskpor besar dikenakan tarif tinggi; Tiongkok 54%, Indonesia 64%, Vietnam 46% Korea Selatan 25% Jepang 24, Uni Eropa (termasuk Jerman) 20%, Taiwan 32%, Meksiko: Potensial 25%, Malaysia 24%,Thailand 36%.
Wall Street Journal bahkan menyebut langkah ini sebagai “perang dagang terbodoh dalam sejarah”, kritik tajam terhadap strategi yang kini diperluas ke hampir seluruh dunia. Sektor yang paling terdampak adalah barang elektronik, termasuk komputer, ponsel, dan baterai listrik. Mayoritas produk tersebut berasal dari negara-negara Asia yang kini dikenai tarif tinggi oleh AS: Komputer: 40,7% dari Tiongkok, 27,5% dari Meksiko, 15% dari Taiwan, 9,42% dari Vietnam. Baterai listrik: 51,8% dari Tiongkok, 16,6% dari Korea Selatan, sisanya dari Jepang, Meksiko, Jerman, dan Vietnam. Ponsel: 28,3% dari Tiongkok, 23,1% dari Meksiko, dan sisanya dari Taiwan, Vietnam, Malaysia, serta Thailand.
Salah satu aspek paling menggelikan dari kebijakan ini adalah bagaimana negara-negara kecil juga dikenai tarif yang sangat tinggi berdasarkan perhitungan yang sama yakni defisit perdagangan. Amerika mengklaim bahwa: Kamboja dan Laos memiliki hambatan perdagangan sebesar 97% dan 95%, sehingga masing-masing dikenai tarif sebesar 49% dan 48%, Madagaskar disebut memiliki hambatan 93%, sehingga dikenai tarif 47%, Lesotho (populasi 2 juta) dan wilayah Prancis Saint Pierre dan Miquelon (populasi < 6.000) dituduh memiliki hambatan 99%, yang berujung pada tarif sebesar 50%. Ini mencerminkan betapa tak logisnya pendekatan yang digunakan. Bahkan dokumen USTR yang dikutip Gedung Putih mengacu pada artikel akademis yang sebenarnya menyatakan bahwa perdagangan bebas menguntungkan konsumen AS dengan menurunkan harga barang secara signifikan. Kebijakan tarif tinggi Trump bertolak belakang dengan logika ekonomi modern dan prinsip perdagangan yang sehat. Ia gagal memahami bahwa defisit perdagangan tidak selalu mencerminkan praktik dagang yang tidak adil, dan bahwa menaikkan tarif hanya akan membebani konsumen domestik, meningkatkan harga barang, serta memicu pembalasan dari negara lain. Alih-alih mencapai reindustrialisasi, kebijakan ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperbesar tekanan pada masyarakat kelas menengah dan bawah. Di sisi lain, pemotongan pajak terhadap korporasi besar dan individu kaya tetap berlanjut, menciptakan ketimpangan yang semakin dalam. (asta/ Jordan)