astakom.com, Jakarta, — Langkah Presiden Prabowo Subianto menertibkan enam smelter ilegal di Bangka Belitung dinilai sebagai kebijakan strategis yang tidak hanya menyangkut Penegakan Hukum, tetapi juga koreksi arah pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan, tindakan pemerintah ini menjadi momentum untuk menutup kebocoran ekonomi dan mengembalikan kendali negara atas kekayaan alam.
“Apa yang dilakukan pemerintah ini adalah momentum untuk mengakhiri era kebocoran nilai dari sumber daya alam. Ini bukan semata urusan tambang, tapi soal kedaulatan ekonomi,” ujar Fakhrul di Jakarta, Senin (6/10).
Menurut Fakhrul, lebih dari 90 persen cadangan timah dan logam tanah jarang (LTJ) Indonesia berada di Bangka Belitung. Selama bertahun-tahun, negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah akibat praktik tambang ilegal dan lemahnya tata kelola.
“Kerugian ini bukan hanya soal uang, tapi cermin dari institusi ekonomi yang kehilangan daya kontrol. Dengan penertiban ini, pemerintah sedang mengembalikan trust premium terhadap negara,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan ini memberi sinyal kepada pasar bahwa pemerintah serius dalam menciptakan tata kelola yang bersih. Namun, langkah ini juga menyimpan tantangan besar jika tidak disertai strategi jangka panjang yang mengutamakan efisiensi.
Fakhrul menekankan bahwa kedaulatan tanpa efisiensi bisa berubah menjadi “nasionalisme yang mahal”. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak sekadar memindahkan pengelolaan dari tangan swasta ke tangan negara tanpa perbaikan tata kelola.
“Ketika smelter ilegal disita dan dikelola oleh BUMN, tantangannya bukan hanya soal legalitas, tapi soal kemampuan menciptakan value chain yang produktif. Tanah jarang adalah industri berbasis teknologi tinggi,” paparnya.
Karena itu, ia menilai pemerintah harus menyertakan beberapa langkah strategis:
Industrial policy berbasis produktivitas, bukan semata proteksi.
Konsolidasi antara PT Timah, lembaga riset, dan universitas, sehingga hilirisasi logam tanah jarang tidak berhenti pada produk setengah jadi, melainkan menghasilkan knowledge capital.
Kemitraan publik-swasta (PPP) yang disiplin, transparan, dan dapat diaudit oleh publik.
“Tanah jarang adalah industri teknologi tinggi. Kalau tidak disertai riset, inovasi, dan tata kelola yang transparan, kita berisiko hanya mengganti pelaku tanpa memperbaiki sistem,” kata Fakhrul.
Ke depan, menurutnya, pemerintah perlu merancang blueprint tata kelola mineral strategis yang jelas dan stabil. Tiga aspek utama yang harus dipastikan meliputi:
Hak dan kewajiban antara pusat dan daerah, agar distribusi manfaat berjalan adil.
Mekanisme audit ekspor dan royalti, sehingga nilai ekonomi benar-benar tercatat.
Jalur transisi bagi industri kecil, yang izin legalisasinya masih tertinggal, agar tidak terjadi gejolak sosial.
“Hanya dengan tata kelola yang stabil, keadilan bisa menjadi daya tarik investasi, bukan hambatannya,” tegas Fakhrul.
Presiden Prabowo Targetkan Tutup Kebocoran Rp 45 Triliun dari Penertiban Tambang Timah Ilegal
Terkait masyarakat yang selama ini terlibat dalam tambang ilegal, Fakhrul menekankan perlunya solusi inklusif. Menurutnya, PT Timah harus hadir sebagai penyangga sosial bagi para penambang kecil.
“Disini PT Timah harus bisa memberikan bantalan. Kita tidak ingin ada gejolak di industri. PT Timah harus memberikan kompensasi dan penghidupan sama baiknya atau lebih, dibandingkan sebelumnya menjadi penambang illegal. Ini nanti akan membuktikan keberhasilan dari kebijakan ini,” ujarnya.
Presiden Prabowo Saksikan Penyerahan Smelter Timah Rampasan Negara
Langkah ini, tambahnya, bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menjaga stabilitas sosial di daerah penghasil timah.
Fakhrul juga menilai keberhasilan kebijakan Presiden Prabowo akan ditentukan oleh konsistensi regulasi. Dunia usaha, kata dia, bisa menerima aturan ketat asalkan ada Kepastian Hukum.
“Pasar menolak ketidakpastian, bukan aturan. Hukum yang tegas harus diikuti oleh tata kelola yang dapat diprediksi. Itu yang akan mengubah Bangka Belitung dari tambang menjadi penggerak Ekonomi nasional,” pungkasnya.
Menutup pernyataannya, Fakhrul menekankan bahwa kedaulatan ekonomi tidak cukup hanya dengan memiliki hak atas tambang. Lebih penting adalah kemampuan negara menambah nilai dari setiap sumber daya yang dieksploitasi.
“Kedaulatan ekonomi bukan hanya hak tentang untuk menambang, tapi kemampuan menambah nilai dari setiap gram tanah yang diambil dari bumi sendiri, dan disini kita harus memberikan nilai tambah yang maksimal untuk bangsa,” tutupnya.
Ikuti perkembangan berita terkini ASTAKOM di GOOGLE NEWS