astakom.com, Jakarta – Pakar Kebijakan dan Tata Kelola Pemerintahan, Dr. Muchamad Zaenuri menyambut baik wacana reformasi kepolisian yang kembali mengemuka setelah Presiden Prabowo Subianto menerima perwakilan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (11/9) lalu.
Zaenuri menilai pertemuan tersebut sebagai langkah awal pemerintah untuk mendengarkan aspirasi tokoh lintas agama terkait berbagai persoalan, termasuk desakan reformasi kepolisian yang kembali muncul setelah insiden yang terjadi pada akhir Agustus lalu.
“Saya kira wajar, karena insiden yang terjadi kemarin bisa menjadi pemicu, terutama dengan tragedi meninggalnya Afan sebagai puncaknya. Padahal kondisi sebenarnya sudah menunjukkan kerawanan dan risiko tinggi sebelumnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com, Selasa (16/9).
Zaenuri menekankan kesalahan berulang dalam penanganan unjuk rasa seharusnya tidak terjadi dalam tata kelola pemerintahan modern yang mengedepankan siklus Plan, Do, Check, Action.
“Setiap tahun seharusnya ada evaluasi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi,” imbuh pria yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut.
Menurutnya, reformasi kepolisian harus dilakukan secara menyeluruh dan mencakup tiga hal utama, yakni perihal regulasi, tata kelola, dan paradigma.
“Pertama, pemerintah perlu membenahi regulasi sebagai dasar hukum. Kedua, memperbaiki struktur dan manajemen sumber daya manusia demi menciptakan tata kelola yang baik. Ketiga, mengubah mindset penegakan hukum menjadi ‘polisi pelindung masyarakat’,” jelasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya pendekatan persuasif dibanding represif dalam menangani aksi massa.
“Polisi seharusnya lebih canggih dalam menangani pergerakan massa. Teknik persuasif harus diutamakan. Aparat perlu tampil lebih dingin dan sabar menghadapi demonstran,” katanya.
Dalam perspektif pemerintahan kolaboratif, Zaenuri menilai kehadiran masyarakat sipil dan akademisi sangat penting untuk mendukung reformasi. Akademisi, menurutnya, memiliki posisi strategis karena independensinya dalam memberi catatan kritis terhadap jalannya pemerintahan.
“Tentu saja peran stakeholder dari akademisi maupun masyarakat sipil harus saling menguatkan. Sebanyak apa pun reformasi dilakukan, jika rakyatnya tidak sadar, hasilnya akan sama saja,” tegasnya.
Zaenuri menyarankan agar kolaborasi dimulai dengan kesamaan visi dalam penegakan hukum, lalu dilanjutkan dengan dialog intensif. UMY, lanjutnya, siap berkontribusi melalui kajian akademis, forum diskusi, maupun kolaborasi nyata dengan berbagai pihak.
“Bahkan lebih konkret lagi, bisa melalui penyadaran masyarakat hingga memberi masukan regulasi terkait cara penegakan hukum yang efektif,” tambahnya.
Terakhir, Zaenuri berpesan agar kekerasan tidak lagi ditoleransi di negara demokratis. “Semua persoalan bisa didialogkan dan dicari penyelesaiannya bersama-sama,” pungkasnya.
Gen Z Takeaway
Reformasi kepolisian udah kayak software update, harus nyeluruh dan nggak bisa setengah-setengah—mulai dari regulasi, manajemen SDM, sampai mindset polisi biar jadi pelindung masyarakat, bukan bikin takut.
Dr. Zaenuri ngingetin kalau cara represif udah jadul banget, sekarang harusnya lebih persuasif, sabar, dan kolaboratif bareng akademisi + masyarakat sipil. Intinya, jangan tunggu tragedi dulu baru sadar, evaluasi tiap tahun tuh wajib biar nggak ngulang kesalahan yang sama.