astakom.com, Jakarta – Tren inflasi yang melandai pada Agustus 2025 semakin memperkuat sinyal pemulihan ekonomi Indonesia di semester kedua tahun ini. Hal itu sebagaimana disampaikan Analis Samuel Sekuritas, Prasetya Gunadi.
“Tren inflasi yang lebih landai memperkuat justifikasi bagi BI (Bank Indonesia) untuk melanjutkan pelonggaran moneter,” tulis Prasetya dalam risetnya, dikutip astakom.com, Sabtu (6/9).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Harga Konsumen (IHK) utama naik 2,31 persen year-on-year (yoy), turun tipis dari 2,37 persen pada Juli 2025. Sementara itu, inflasi inti mencapai level terendah dalam 11 bulan terakhir di angka 2,17 persen, mencerminkan lemahnya tekanan permintaan domestik.
Secara bulanan, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,08 persen, berbalik arah dari inflasi 0,3 persen pada Juli 2025. Penurunan terutama ditopang normalisasi harga pangan dan stabilnya biaya transportasi. Dengan capaian ini, inflasi tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI) tahun 2025, yakni 1,5–3,5 persen.
Hingga Agustus 2025, BI sudah memangkas BI Rate sebesar 50 basis poin (bps) ke level 5 persen. Menurut Samuel Sekuritas, jika nilai tukar rupiah tetap stabil dan tekanan inflasi impor terkendali, peluang pemangkasan suku bunga tambahan sebesar 25 bps terbuka pada kuartal IV-2025 atau awal 2026.
Indikator Ekonomi Semakin Positif
Selain inflasi, indikator pertumbuhan ekonomi lain juga menunjukkan perbaikan. Indeks PMI Manufaktur S&P Global kembali ke zona ekspansi pada Agustus, menandakan peningkatan aktivitas industri.
Dari sisi eksternal, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus di atas USD4 miliar selama tiga bulan berturut-turut, terakhir pada Juli sebesar USD4,18 miliar. Tekanan impor pun mereda setelah adanya kesepakatan tarif timbal balik dengan Amerika Serikat, turun menjadi 19 persen dari sebelumnya 32 persen.
“Kombinasi inflasi rendah, pemulihan manufaktur, dan surplus perdagangan yang kuat membentuk fondasi yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di paruh kedua tahun ini,” terang Prasetya.
Peluang di Pasar Obligasi
Menurut Prasetya, melandainya inflasi inti dan deflasi bulanan memberi sentimen positif bagi pasar obligasi pemerintah Indonesia (IndoGB). Instrumen dengan tenor menengah hingga panjang (5–10 tahun) dipandang masih menawarkan peluang imbal hasil menarik sekaligus potensi kenaikan harga.
Selain itu, kurva imbal hasil berpotensi mengalami bull-steepening jika pasar mengantisipasi penurunan suku bunga lebih lanjut. Kontrak interest rate swap (IRS) jangka pendek juga dinilai atraktif, meski investor tetap disarankan waspada terhadap risiko penguatan dolar AS yang bisa memicu inflasi impor.
Dengan inflasi yang terkendali, BI memiliki fleksibilitas lebih besar untuk menjaga keseimbangan antara dukungan pertumbuhan dan stabilitas keuangan.
“Stabilitas harga, pemulihan manufaktur, dan surplus perdagangan yang berkelanjutan mendukung pandangan positif terhadap obligasi Indonesia, peluang penguatan rupiah saat koreksi, serta selektivitas pada instrumen berisiko seperti kredit dan saham,” pungkas Prasetya.
Gen Z Takeaway
Inflasi lagi nurun, guys! Agustus 2025 cuma 2,31 persen. Artinya harga makin chill, BI bisa gaspol turunin bunga, pabrik-pabrik udah balik ngebut, dan dagangan RI masih cuan gede di luar negeri. Singkatnya, ekonomi kita lagi on track ke mode healing + glow up, bikin rupiah makin dilirik investor global.