astakom.com, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kemendikbudristek.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna menjelaskan bahwa penetapan tersangka oleh mantan menteri di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini dilakukan berdasarkan bukti kuat hasil penyidikan, setelah penyidik memeriksa Nadiem sebanyak tiga kali sebagai saksi.
“Dari hasil pendalaman, keterangan saksi-saksi, dan juga alat bukti yang ada, pada sore ini (red-Kamis sore) hasil dari ekspose telah menetapkan tersangka baru dengan inisial NAM,” kata Anang dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip astakom.com, Jumat (5/9).
Diperiksa Tiga Kali Sebelum Jadi Tersangka
Nadiem pertama kali diperiksa pada 23 Juni 2025 selama 12 jam, kemudian kembali dipanggil pada 15 Juli 2025 dengan durasi pemeriksaan 10 jam. Pemeriksaan terakhir dilakukan pada 4 September 2025 sejak pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB, sebelum akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan kedua, Nadiem sempat menyampaikan apresiasinya.
“Saya ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada pihak kejaksaan karena memberikan saya kesempatan untuk memberikan penerangan terhadap kasus ini,” ujarnya pada 15 Juli 2025 lalu.
Ditahan 20 Hari di Rutan Kejagung
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, menyatakan Nadiem langsung ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Saat digiring ke mobil tahanan dengan tangan terborgol dan mengenakan rompi pink, ekspresi Nadiem terlihat datar.
“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka NAM akan dilakukan penahanan di rutan selama 20 hari ke depan sejak hari ini tanggal 4 September 2025,” kata Nurcahyo.
Kerugian Negara Rp1,98 Triliun
Kejagung menduga pengadaan laptop Chromebook menyebabkan kerugian negara sekitar Rp1,98 triliun. Angka ini masih dalam proses penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Nurcahyo menambahkan, proyek tersebut melanggar tiga regulasi penting, yakni:
Perpres Nomor 123 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik TA 2021,
Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2018 yang diubah dengan Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan Barang/Jasa Pemerintah.
Selain itu, Kejagung menyebut Nadiem beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia untuk membahas penggunaan sistem operasi Chromebook, bahkan sejak Mei 2019 melalui rapat tertutup via Zoom.
Tersangka Kasus Korupsi Chromebook
Sebelum Nadiem, Kejagung telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini, yakni Jurist Tan (mantan staf khusus Mendikbudristek), Ibrahim Arief (eks konsultan teknologi Kemendikbudristek), Mulyatsyahda (Dirjen PAUD Dikdasmen 2020–2021), dan Sri Wahyuningsih (Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek).
Keempatnya disebut bersekongkol dalam proyek pengadaan laptop berbasis Chromebook untuk sekolah, termasuk di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Bantah Tuduhan, Titip Pesan untuk Keluarga
Sebelum dilakukan penahanan terhadap, Nadiem sempat membantah tuduhan korupsi yang menyeret dirinya. Hal itu disampaikannya saat digiring oleh penyidik ke mobil tahanan, setelah ekspose penetapan tersangka dilakukan Kejagung pada Kamis kemarin.
“Saya tidak melakukan apapun. Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan keluar,” kata Nadiem.
Ia juga menitipkan pesan kepada keluarganya. “Untuk keluarga saya dan empat balita saya, kuatkan diri, kebenaran akan ditunjukkan. Allah melindungi saya. Allah tahu kebenarannya,” ucap dia.
Gen Z Takeaway
Skandal laptop Chromebook ini bikin heboh karena nama besar Nadiem Makarim akhirnya resmi jadi tersangka. Diduga ada kerugian negara nyaris Rp2 triliun, sementara Nadiem ngotot bilang dirinya nggak bersalah.
Dari ditahan 20 hari sampai disebut-sebut langgar tiga regulasi penting, kasus ini jadi drama hukum yang nunjukkin betapa rapuhnya proyek digitalisasi kalau nggak transparan