astakom.com, Denpasar – Memasuki hari ketiga perhelatan Culture, Heritage, Art, Narrative, Diplomacy, and Innovation (CHANDI) 2025 di Bali, forum internasional kebudayaan ini menghadirkan sesi pleno bertajuk “Culture for the Future: Heritage, Identity, and Innovation”.
Sesi pleno ini menjadi ruang penting untuk merumuskan bagaimana warisan budaya dapat dikelola, dikembangkan, dan dihidupkan kembali sebagai bagian dari identitas serta motor penggerak inovasi di masa mendatang.
Pleno dibuka dengan pidato kunci (keynote speech) dari Ketua Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya, Hashim S. Djojohadikusumo. Dalam pidatonya, Hashim menyampaikan keprihatinannya terhadap tantangan besar yang dihadapi budaya Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi, teknologi, dan media digital.
Hashim menekankan bahwa selama lebih dari satu dekade, ia terus memikirkan keterkaitan erat antara budaya, identitas, dan masa depan bangsa. “Indonesia adalah persimpangan peradaban dunia sejak ribuan tahun lalu. Namun, yang kita perlukan adalah keseimbangan sehat agar budaya asli kita tetap hidup dan dicintai” ujarnya.
Lebih lanjut, Hashim mendorong pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan untuk berinvestasi secara serius dalam penguatan budaya nasional. Ia mengusulkan agar lembaga terkait, termasuk Danantara, mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung seniman dan kreator lokal, mulai dari animator, kartunis, dan konten kreator.
“Dukungan ini penting agar karya-karya kreatif Indonesia mampu bersaing dengan industri budaya global, sekaligus menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap warisan bangsanya sendiri,” katanya.
Superpower keragaman budaya
Setelah pidato kunci (keynote speech), dimoderatori oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri, Dosen Fakultas Filsafat, Universitas Indonesia, pleno ini menghadirkan empat panelis.
Di antaranya Professor Contemporary History and Dean of Leiden-Delft-Erasmus Universities, Prof. Dr. Wim van den Doel; Associate Professor of School of Arts of Nanfang College Guangzhou, He Lu; Director of Ubud Writers & Readers Festival, Janet DeNeefe; dan Conservator of the Southeast Asian collections at Musée Guimet, Prancis, Evelise Bruneau.
Prof. Dr. Wim van den Doel dalam paparannya yang berjudul “Rewriting the Past to Imagine the Future”, mengatakan bahwa Indonesia memiliki warisan budaya yang kaya di mata dunia.
Ia mengambil contoh bagaimana proses kembalinya patung Singosari ke Indonesia setelah disimpan di Leiden selama masa kolonial sepanjang hampir 200 tahun sejak 1978 dan kembali ke Indonesia pada 2023 lalu. Kembalinya Patung Singosari itu menjadi gambaran bahwa warisan budaya bisa menjadi tempat lintas antar negara serta antar budaya.
Lebih lanjut, Wim mengatakan bahwa Indonesia menjadi superpower dalam hal keragaman budaya dengan banyaknya etnis hingga sejumlah tradisi. “Indonesia sebagai negara adidaya yang kaya akan budaya ini memiliki banyak etnis serta tradisinya masing-masing dalam perlintasan budaya sehingga Indonesia menjadi tempat khusus di mata dunia,” jelas Wim.
Wim menilai bahwa warisan budaya bukan hanya sebagai peti harta karun yang disimpan dan dijauhkan dari siapapun, tetapi layaknya taman yang dipelihara dan dijaga bersama untuk bisa terus tumbuh dan berkembang menyambut masa depan bersama agar makna dari hal tersebut tidak hilang begitu saja.
Gen Z Takeaway
Dalam konferensi kebudayaan internasional di Bali, Ketua Dewan Penyantun Museum Indonesia Hashim S. Djojohadikusumo prihatin sama tantangan kebudayaan Indonesia di Tengah deras arus globalisasi, teknologi dan media sosial. Makanya Hashim minta pemerintah serius berinvestasi supaya budaya nasional kuat. Hashim usul agar lembaga terkait, termasuk Danantara, mau biayai seniman dan kreator lokal, mulai dari animator, kartunis, dan konten kreator.