astakom.com, Jakarta – Populasi gajah Sumatera dinyatakan berada dalam status sangat terancam punah atau critically endangered sejak 2011. Berbagai upaya konservasi yang dilakukan selama 14 tahun terakhir belum mampu meningkatkan jumlah spesies kunci hutan tropis Sumatera ini.
Kantong-kantong populasi gajah terus menyusut akibat alih fungsi hutan menjadi lahan lain. Langkah nyata penyelamatan gajah kini mendesak dilakukan.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia, Donny Gunaryadi, mengatakan dalam kurun waktu satu generasi gajah, yaitu 50-75 tahun, kerusakan habitat gajah Sumatera mencapai 70 persen.
Saat ini populasi gajah diperkirakan tidak lebih dari 1.000 ekor di alam liar. “Populasi gajah tetap dinyatakan kritis,” ujar Donny, Selasa (12/8) sebagaimana dilansir dari kompas.id.
Donny menambahkan, Hari Gajah Sedunia yang diperingati setiap 12 Agustus menjadi momentum global untuk membantu gajah keluar dari ancaman kepunahan.
Melalui peringatan ini, jutaan orang di seluruh dunia menunjukkan kepedulian terhadap kelestarian gajah. Menurutnya, peringatan tersebut dapat menjadi pemicu gerakan nyata di lapangan.
Hari Gajah Sedunia juga menjadi titik netral bagi semua pihak untuk bersatu dalam upaya konservasi. Pemerintah, pengusaha, akademisi, dan masyarakat sipil memiliki peran yang sama penting dalam melindungi gajah.
Donny menegaskan bahwa kesadaran kolektif adalah modal utama dalam menyelamatkan satwa luar biasa ini.
Di Indonesia, tema peringatan tahun ini adalah “Gajah Harga Diri Sumatera”. Tema tersebut menggambarkan gajah sebagai simbol kekayaan biodiversitas pulau Sumatera. Sebagai spesies payung, keberadaan gajah mencerminkan utuhnya ekosistem hutan tropis.
Dalam berbagai budaya lokal di Sumatera, gajah dipandang sebagai makhluk bijak, kuat, dan sarat nilai spiritual. Nilai-nilai ini menjadi alasan tambahan mengapa gajah layak dilindungi.
“Dalam budaya lokal, gajah dihormati sebagai simbol kebijaksanaan dan kekuatan,” tegas Donny.
Selain gajah Sumatera, Indonesia juga memiliki gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang statusnya sama-sama sangat terancam punah. Kedua subspesies ini membutuhkan perhatian dan perlindungan yang konsisten. Donny menekankan, kebijakan yang berpihak pada konservasi menjadi kunci.
Upaya pemerintah untuk mengalokasikan areal konservasi gajah dinilai positif. Di Aceh, Presiden Prabowo Subianto mengalokasikan sebagian wilayah konsesi hutan produksi sebagai area jelajah gajah.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan juga telah mengembalikan 81.000 hektar lahan di Taman Nasional Tesso Nilo dan kawasan Bukit Tigapuluh.
Menurut Donny, langkah-langkah ini membuka harapan baru bagi kelestarian gajah Sumatera. Namun, ia mengingatkan bahwa upaya konservasi adalah perjalanan panjang yang harus terus dikawal. Niat baik harus diiringi dengan implementasi di lapangan.
Perhatian Pemerintah
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan, populasi gajah Sumatera berdasarkan penghitungan pemerintah mencapai sekitar 1.100 individu di 22 lanskap alam.
Pemerintah berencana memperbaiki habitat gajah dengan melibatkan masyarakat lokal. Salah satu langkah terdekat adalah melalui program Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI) di Aceh.
Program PECI akan merehabilitasi hutan tanaman industri milik Prabowo seluas 98.000 hektar di Aceh. Tahap awal akan mencakup 21.000 hektar di blok pertama yang menjadi rumah bagi 40-50 gajah, serta 14.000 hektar di blok kedua dengan populasi sekitar 27 gajah.
“Gajah Sumatera adalah harga diri bangsa. Kita harus mempertahankannya,” tandas Raja Juli Antoni.
Pemimpin Program PECI, Robi Royana, menjelaskan bahwa konservasi di lanskap Peusangan meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen.
Program ini diharapkan dapat meredam konflik satwa dengan manusia. “Gajah akan lebih betah hidup di habitatnya dan jarang masuk ke lahan warga,” ujarnya.