astakom.com, Jakarta – Komisi I DPR RI mengusulkan tiga alternatif kebijakan terkait wacana pemerintah menerapkan sistem Payment ID, sistem keuangan yang menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai sistem pencatatan seluruh aktivitas transaksi keuangan perorangan.
Usulan ini disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Sarifah Ainun Jariyah menyusul kekhawatiran terhadap kesiapan infrastruktur keamanan data dan perlindungan hak warga sebelum peluncuran Payment ID yang dijadwalkan pada 17 Agustus 2025 mendatang.
“Tiga alternatif itu adalah perbaikan sistem pajak dengan memberikan kompensasi otomatis, penundaan Payment ID hingga infrastruktur keamanan data benar-benar siap, serta penerapan model pelaporan berkala, bukan pelaporan per transaksi,” ujar Sarifah dalam keterangannya di Jakarta, dikutip astakom.com, Senin (11/8).
Dia tak mempermasalahkan perihal Payment ID, mengingat kebijakan terkait pelaporan sistem keuangan yang akan dirilis Bank Indonesia (BI) tersebut sudah diterapkan di sejumlah negara, namun penerapannya disertai dengan pemberian insentif bagi masyarakat.
“Di Australia dan beberapa negara lain, pelaporan setiap pembelian memang ada, tetapi disertai kompensasi nyata seperti tax refund 10–15 persen. Sistem kita belum siap memberikan penghargaan serupa kepada wajib pajak,” kata politikus daerah pemilihan (dapil) Banten tersebut.
Sarifah menjelaskan, ada beberapa alasan utama yang mendasari usulan tersebut. Pertama, sistem perpajakan Indonesia dinilai belum mampu memberikan insentif memadai.
Dia membeberkan, Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hanya 16,5 juta wajib pajak aktif dari total penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa.
Kedua yakni terkait dengan infrastruktur digital Indonesia yang terbilang masih rentan. Menurut Indonesia Data Protection Authority, terjadi 3.814 kasus kebocoran data sepanjang tahun 2023–2024.
Ketiga, perlindungan hukum bagi korban kebocoran data belum memadai. Sarifah mencontohkan kasus kebocoran data BPJS Kesehatan pada 2023 yang menimpa 279 juta orang, namun tidak diikuti kompensasi memadai bagi korban.
Termasuk juga perihal temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat 120 ribu rekening nasabah diperjualbelikan di jejaring dlmedia sosial hingga e-commerce.
Keempat, data KTP dan NPWP di perbankan belum terintegrasi. Hal ini yang kemudian berpotensi menimbulkan masalah baru jika Payment ID diterapkan.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan masih mengkaji wacana Payment ID secara komprehensif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, setiap kebijakan baru harus mempertimbangkan segala aspek, yang dalam hal ini terkait perlindungan data pribadi.