astakom, Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 5,12 persen year-on-year (yoy) bukan sesuatu hal yang mengejutkan. Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research, Pranjul Bhandari menilai pencapaian tersebut sangat dipengaruhi oleh pemulihan daya beli di sektor informal yang selama ini luput dari perhatian banyak pihak.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku mencapai Rp 5.947 triliun dan atas dasar harga konstan Rp 3.396,3 triliun pada kuartal II-2025. Pertumbuhan ekonomi tercatat 5,12 persen yoy dan 4,04 persen quarter-to-quarter (qtq).
Meski maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan fenomena Rojali (rombongan jarang beli) serta Rohana (rombongan hanya nanya) yang kerap dijadikan indikasi pelemahan daya beli, BPS mencatat komponen konsumsi rumah tangga justru menguat dari 4,89 persen yoy pada kuartal I menjadi 4,97 persen yoy pada kuartal II.
Pranjul menjelaskan, sektor informal, meliputi pekerja di bidang pertanian, usaha kecil, dan perusahaan yang tidak terdaftar, memegang peran vital dalam perekonomian.
“Sekarang, apa yang kita lihat di tahun 2025 adalah bahwa meskipun sektor formal tidak lebih baik dari sebelumnya, (sedangkan) sektor informal sudah mulai jauh lebih baik,” ujarnya dalam media briefing virtual, dikutip astakom.com di Jakarta, Sabtu (9/8).
“Mengapa sektor informal lebih baik di tahun 2025? Menurut saya, karena inflasi telah turun cukup banyak dan hal ini meningkatkan daya beli, terutama konsumen massal, konsumen yang sensitif terhadap harga,” ujarnya menjelaskan.
Ia menambahkan, perbaikan sektor pertanian berkat curah hujan baik usai periode El Nino dan memasuki La Nina turut mendongkrak penghasilan petani. Data BPS mencatat, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh 1,65 persen yoy dan 13,53 persen qtq, menyumbang 13,83 persen terhadap PDB.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan kuartal II-2024 yang hanya sebesar 13,77 persen dan kuartal I-2025 12,66 persen terhadap PDB.
Faktor lain yang menopang daya beli adalah inflasi pangan yang terjaga serta kebijakan stimulus ekonomi dari pemerintah, berupa diskon transportasi dan bantuan sosial. Pranjul menekankan bahwa meski indikator sektor formal seperti penjualan mobil dan peralatan rumah tangga melemah, pengeluaran di sektor informal untuk kebutuhan pokok hingga energi justru menguat.
“Menurut saya, hal ini menunjukkan peningkatan. Dan ini, menurut kami, juga memberikan dasar bagi pertumbuhan. Dan oleh karena itu, ketika kami mendapatkan data pertumbuhan PDB Juni beberapa hari yang lalu, kami tidak terlalu terkejut,” tutupnya menegaskan.