astakom, Tangerang Selatan – Mengajak masyarakat untuk mengubah kebiasaan praktis menjadi gaya hidup ramah lingkungan ternyata bukan perkara mudah. Hal ini dirasakan langsung oleh Komunitas Guna Ulang Aja (GUA), yang fokus mengampanyekan penggunaan kembali barang untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai.
Ketua Komunitas GUA, Ardianto Prabowo, saat jadi narasumber Go Podcast mengatakan tantangan terbesar adalah pola pikir masyarakat. “Banyak yang bilang ribet kalau harus bawa tumbler atau kotak makan sendiri. Padahal, ribet sedikit sekarang demi masa depan yang lebih baik itu penting,” ujarnya.
Putri, salah satu relawan, mengakui bahwa penolakan sering ditemui di lapangan. Terutama saat mereka mengedukasi di ruang terbuka seperti car free day atau alun-alun kota. “Banyak yang salah paham, mengira kami mau minta sumbangan. Makanya kami fokus pada orang-orang yang mau mendengar dulu,” katanya.
Meski begitu, Komunitas GUA tetap aktif melakukan edukasi ke sekolah-sekolah. Metode ini dinilai efektif karena anak-anak lebih cepat menangkap pesan dan bisa membawanya ke rumah. Bahkan, di salah satu SD di Tangerang Selatan, kampanye reuse berhasil menutup bank sampah sekolah karena jumlah plastik yang terkumpul turun drastis.
Keberhasilan itu tak lepas dari peran guru dan pedagang kantin yang mendukung. Mereka mengimbau siswa membawa kotak makan dan tumbler sendiri, sehingga penggunaan plastik sekali pakai berkurang signifikan.
Menurut Bowo, manfaat gaya hidup reuse tidak hanya mengurangi timbunan sampah, tapi juga mencegah dampak jangka panjang. Sampah plastik membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai, dan selama itu bisa menjadi mikroplastik yang berbahaya bagi kesehatan.
Mikroplastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui air, tanah, bahkan udara. “Efeknya bisa memicu penyakit serius. Belum lagi dampak gas metana dari TPA yang memperparah perubahan iklim,” jelasnya.
Selain merusak lingkungan, kebiasaan konsumtif sekali pakai juga berdampak pada ekonomi. Bowo mencontohkan tren minum kopi dengan kemasan sekali pakai yang membuat masyarakat terus menghasilkan sampah. “Kalau dibiarkan 10–20 tahun, ini jadi bom waktu,” tegasnya.
Meski menghadapi tantangan, Komunitas GUA melihat respon positif dari generasi muda. Putri menyebut banyak temannya yang mulai penasaran dan ingin ikut mengurangi sampah tanpa harus memungutnya di jalan. “Dimulai dari diri sendiri, itu yang terpenting,” katanya.
Ke depan, Komunitas GUA berharap gerakan mereka bisa diperkuat dengan dukungan regulasi, seperti di Bali yang melarang air minum dalam kemasan (AMDK) sekali pakai di bawah 1,5 liter. “Kalau ada aturan tegas, masyarakat akan terdorong untuk membawa wadah guna ulang,” tutup Bowo.