astakom, Jakarta – Di balik gelak tawa dan serunya aksi peserta melompat-lompat dalam karung goni pada perayaan Hari Kemerdekaan RI yang digelar setiap tanggal 17 Agustus, tersimpan sejarah pilu dari permainan rakyat, apa lagi kalau bukan balap karung.
Menjadi bagian dari kemeriahan Hari Ulang Tahun (HUT) RI, lomba ini tak sekadar ajang nostalgia, melainkan simbol perjuangan dan kondisi ekonomi masa lalu yang masih begitu pelik.
Dilansir astakom.com dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jakarta, balap karung pertama kali muncul di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan mulai populer sejak masa penjajahan Belanda. Awalnya, permainan ini dimainkan oleh anak-anak usia 6–12 tahun di sekolah-sekolah Belanda sebagai bagian dari kegiatan fisik.
Namun, seiring waktu, permainan ini merambah ke masyarakat luas dan dijadikan hiburan rakyat dalam berbagai perayaan besar, termasuk peringatan Hari Kemerdekaan.
Yang mungkin belum banyak diketahui publik adalah versi lain dari asal-usul balap karung yang jauh lebih menyayat hati. Dimana kala itu, tekanan ekonomi membuat masyarakat sulit membeli pakaian. Karung goni, yang biasanya digunakan untuk menyimpan beras atau bahan pangan, akhirnya menjadi alternatif pakaian darurat.
Agar bisa digunakan, karung-karung tersebut diinjak-injak hingga berlubang dan bisa dipakai. Dari kebiasaan inilah lahir tradisi melompat-lompat di dalam karung, yang kemudian dikemas menjadi sebuah permainan.
Meski terlihat sederhana, perlombaan balap karung yang menjadi permainan wajib di tanggal 17 Agustus sarat akan makna. Usaha keras para peserta menuju garis finis mencerminkan semangat pantang menyerah.
Dalam format beregu, permainan ini juga melatih kerja sama tim, kekompakan, dan strategi. Nilai-nilai seperti sportivitas, kesabaran, keberanian, dan kemampuan beradaptasi pun melekat kuat dalam setiap loncatan.
Mudah dan Murah, Tapi Penuh Makna
Beralih dari sejarah peliknya, balap karung menjadi perlombaan yang mudah dan murah, namun tetap meriah. Lomba balap karung dapat dilakukan di lapangan terbuka dengan lintasan sekitar 15–20 meter.
Demi keamanan, disarankan memilih lapangan beralas tanah atau rumput untuk mengurangi risiko cedera saat peserta jatuh.
Peralatannya pun cukup murah dan mudah untuk didapatkan, diantaranya karung goni, kapur untuk penanda garis start dan finis, peluit, serta bendera kecil untuk aba-aba.
Kini, lomba balap karung bukan hanya sekadar permainan rakyat. Ia adalah warisan budaya yang hidup, mengajarkan tentang perjuangan, kebersamaan, dan semangat kemerdekaan dalam bentuk yang paling membumi.
Maka, saat melihat orang tertawa sambil jatuh bangun di dalam karung nanti, ingatlah ada sejarah panjang dan semangat perjuangan yang terbungkus rapi di balik setiap lompatan.