astakom, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah meminta semua pihak untuk mengedepankan paradigma konstruktif dalam menyikapi polemik pengibaran Bendera Merah Putih dan One Piece jelang HUT ke-80 Republik Indonesia.
Menurutnya, pengibaran bendera lain diperbolehkan, asal tak melanggar Undang-Undang dan jangan sampai bendera tersebut lebih tinggi dari Merah Putih.
“Kreativitas sebagai kebebasan berekspresi tetap diperbolehkan, namun jangan melanggar peraturan seperti UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,” kata Abdullah, Kamis (7/8), dalam keterangan resmi dikutip astakom.com
Seperti diketahui, fenomena pengibaran bendera One Piece jelang HUT ke-80 RI marak dilakukan, terutama oleh sopir truk dan komunitas penggemar anime.
Bendera One Piece bergambar tengkorak yang disebut Jolly Roger ini dianggap sebagai simbol kekuatan kekuasaan, kebebasan, tekad pribadi, dan solidaritas.
Sehingga banyak bajak laut One Piece menggunakan Jolly Roger sebagai simbol perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan.
Namun Abdullah menilai, polemik ini menjadi destruktif ketika beberapa pihak bersikap saling menyudutkan. Seperti menyebut pemasangan bendera One Piece adalah bentuk provokasi, makar dan dilarang keras untuk mengibarkan.
“Tapi di sisi lain, ada yang menilai respon tersebut adalah sebagai bentuk reaktif dan antikritik,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.
Guna menyudahi polemik tersebut, Abdullah mengusulkan agar semua pihak menahan diri dan duduk bersama untuk mencari solusinya.
Menurutnya, jangan sampai persoalan ini menjadi berlarut-larut dan menghilangkan kekhidmatan perayaan HUT ke-80 RI.
“Mesti ada konsolidasi, untuk menghentikan komunikasi yang tidak produktif ini. Perayaan kemerdekaan atau HUT RI jangan sampai hilang kesakralannya karena polemik bendera One Piece yang berkepanjangan,” tegas Abdullah.
Pria yang akrab disapa Abduh itu pun menambahkan, polemik ini juga mesti dilihat dari sisi lainnya, terlebih fenomena bendera One Piece muncul menjelang peringatan kemerdekaan RI, yakni kritik masyarakat yang merasa hak dasarnya belum terpenuhi, hak politik, ekonomi, sosial dan budaya.
“Substansi kritik ini lah yang mesti disorot dengan memenuhi hak-hak dasar warga negara sesuai amanat konstitusi. Jika ini terpenuhi, tentu polemik ini tak perlu ada lagi atau berhenti dengan sendirinya karena tak lagi relevan,” pungkas Abduh.