astakom, Jepara – Selain dikenal sebagai kota ukir dan rumah bagi wisata bahari Karimunjawa, Kabupaten Jepara juga menyimpan kekayaan budaya lain yang tak kalah berharga, yakni tenun ikat Troso.
Kerajinan kain tradisional asal Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, ini telah eksis sejak tahun 1935 dan kini menjadi produk unggulan yang diminati pasar nasional hingga internasional.
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
Kerajinan ini mengalami perkembangan signifikan dari tahun ke tahun. Pada 1943, warga mulai menggunakan alat tenun pancal, sebelum akhirnya beralih ke Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) pada 1946, yang masih digunakan hingga kini.
Beragam motif khas dihasilkan oleh para perajin lokal, mulai dari motif Sutra, Rangrang, Rajut, Endek, Skaf, hingga motif Kalimantan. Harga kain bervariasi, tergantung jenis dan kualitasnya.
Untuk tentun Troso dengan kain berbahan katun dibanderol mulai Rp140 ribu hingga Rp500 ribu per potong, sementara untuk kain berbahan sutra, harganya bisa mencapai Rp3 juta per potong.
“Dibandingkan batik cap, tenun Troso memang lebih mahal karena seluruh prosesnya menggunakan ATBM dan dikerjakan secara manual, membutuhkan ketelitian dan waktu yang panjang,” ujar Kharis, salah satu pelaku UMKM Tenun Troso kepada jurnalis astakom.com, Sabtu (2/8).
Kharis menuturkan, Bali sampai saat ini masih menjadi pasar utama bagi tenun ikat Troso. Diperkirakan 80 persen hasil kerajinan ini dikirim ke Pulau Dewata dan digunakan dalam berbagai produk fashion serta dekorasi interior.
Sisanya, tenun Troso dipasarkan ke kota-kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Solo, dan Pekalongan. Menariknya, sebagian besar tenun Bali yang diekspor ternyata berasal dari Desa Troso.
Namun di balik geliat pasarnya, perajin tenun Troso tengah menghadapi sejumlah tantangan serius. Salah satunya adalah kesulitan bahan baku benang yang masih harus diimpor dari India.
Tak cuma itu, mahalnya biaya distribusi dan harga bahan yang terus berfluktuasi juga ikut menekan biaya produksi tenun khas dari Kota kelahiran R.A Kartini tersebut.
Terancam Krisis Regenerasi
Yang lebih mengkhawatirkan, minat generasi muda untuk menjadi perajin semakin menurun. Banyak anak muda di Troso lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik yang mulai menjamur di sekitar wilayah Jepara.
“Banyak para pemuda di Jepara yang memilih kerja di pabrik karena secara ekonomi mungkin lebih menjanjikan. Alhasil, profesi penenun dan pengukir ini terancam hilang,” ucap Kharis dengan nada kecewa.
Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada keberlangsungan tradisi menenun yang selama ini menjadi identitas budaya Jepara.
Merujuk pada data tahun 2019 yang dihimpun dari Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Jepara, perajin tenun ikat di Desa Troso yang masih aktif hanya sekitar 6.000-an.
Namun jumlah itu diyakini terus berkurang karena minimnya penerus. Jika tidak segera diintervensi dengan pelatihan, insentif, dan promosi yang masif kepada anak muda, tenun ikat Troso bisa saja tinggal nama di masa depan.