astakom, Donggala – Ada yang berbeda di Pantai Baturuko, Desa Lalombi. Ratusan orang berkumpul, mulai dari pemerintah daerah, komunitas anak muda, jurnalis, hingga warga pesisir. Mereka bukan sekadar hadir, tapi ikut meluncurkan gerakan besar rehabilitasi mangrove yang digagas Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia bersama Yayasan Bonebula.
Aksi ini bukan acara seremonial biasa. Ia adalah kado dari masyarakat pesisir Donggala untuk Hari Mangrove Sedunia 2025.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Program SOLUSI (Solusi Pengelolaan Lanskap Darat dan Laut Terpadu di Indonesia), yang didukung Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) bersama konsorsium mitra. Program ini menjadi jembatan antara pemerintah Indonesia (BAPPENAS) dan pemerintah Jerman (BMUV) lewat Inisiatif Iklim Internasional (IKI).
“Melalui aksi ini, kami ingin menunjukkan bahwa pemulihan ekosistem mangrove bukan hanya soal menanam pohon, tetapi tentang mengembalikan fungsi ekologis dan sosial kawasan pesisir,” tegas Andi Anwar, Direktur Eksekutif Yayasan Bonebula, Jumat (1/8).
Ia menambahkan, semua proses dirancang partisipatif.
“Prosesnya kami rancang secara partisipatif, dari pemetaan, desain teknis, hingga pemantauan, agar masyarakat benar-benar menjadi pemilik inisiatif ini,” lanjutnya.
Rehabilitasi mangrove akan dilakukan di enam titik: Desa Lalombi, Tolongano, Tompe, Lompio, Kelurahan Labuan Bajo, dan Tanjung Batu. Totalnya, 25 hektare lahan akan dipulihkan dengan metode Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR), Assisted Natural Regeneration (ANR), penanaman langsung, hingga penyebaran benih.
Direktur Eksekutif YKL Indonesia, Nirwan Dessibali, menegaskan bahwa inti dari gerakan ini ada pada masyarakat.
“Kami percaya kekuatan aksi lokal. Enam desa ini telah melalui tahapan panjang, studi pustaka, pemetaan partisipatif, hingga pengesahan rencana rehabilitasi yang clear and clean. Ini bukan hanya soal teknik, tapi juga membangun rasa kepemilikan masyarakat terhadap kawasan mangrove mereka,” ujarnya.
Tak hanya menanam, program ini akan diawasi ketat lewat monitoring, evaluasi, dan perawatan selama dua tahun penuh. Data pertumbuhan mangrove akan dicatat sebagai bahan pembelajaran bagi daerah lain.
Nirwan berharap, hutan mangrove kembali mendapat tempat di hati masyarakat.
“Masyarakat Donggala diharapkan semakin sadar pentingnya hutan mangrove sebagai benteng alami dari abrasi dan perubahan iklim, sekaligus sebagai penyokong utama ekonomi pesisir yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Firda, ketua kelompok masyarakat SALAMA (Sahabat Laut dan Mangrove), juga merasakan manfaat langsung dari aksi ini.
“Sekarang kami mengetahui cara menanam mangrove yang baik. Bukan hanya sekedar menanam, perlu tau lokasinya apakah sesuai dan apa yang perlu dilakukan sehingga tanaman tumbuh dengan baik,” jelasnya.