astakom, Jakarta – Di tengah hamparan perbukitan asri Gunung Timau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), berdiri sebuah bangunan bulat berwarna hijau dengan kubah perak yang mencolok. Bangunan ini bukan sekadar penanda lanskap, melainkan menjadi simbol langkah besar Indonesia dalam bidang astronomi Observatorium Nasional (Obnas) Timau, calon observatorium modern terbesar di Asia Tenggara.
Berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, lokasi Obnas Timau dipilih dengan cermat. Selama lima tahun, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan studi intensif dan menemukan bahwa wilayah ini memiliki waktu langit cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain di Indonesia. Minimnya polusi cahaya serta letaknya di khatulistiwa membuat Timau menjadi lokasi ideal untuk pengamatan langit, baik langit utara maupun selatan.
Baca juga
Jalan aspal sepanjang 40 kilometer yang menghubungkan Bokong dan Lelogama menjadi akses utama menuju kawasan sunyi ini. Saat malam tiba, suasana bertambah syahdu oleh suara orkestra serangga malam, sementara miliaran bintang bertaburan menghiasi langit Timau, memanjakan mata telanjang.
Pembangunan Observatorium Nasional Timau menelan biaya sekitar Rp340 miliar dan berdiri di atas lahan seluas 40 hektare. Tak hanya sekadar teleskop, Obnas Timau dilengkapi Gedung Pusat Sains dan Operasional, Laboratorium Pengamatan Antariksa, Laboratorium Kendali, hingga Gedung Open Science Center (OSC) yang akan membuka kesempatan masyarakat dan peneliti mengakses pengetahuan astronomi.
Yang paling membanggakan, Obnas Timau akan mengoperasikan teleskop optik dengan diameter 3,8 meter, menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Teleskop ini dirancang bersama para astronom BRIN dan Universitas Kyoto – Jepang, pihak yang juga membangun teleskop Seimei di Observatorium Okayama, Asia Timur. Selain itu, Obnas Timau juga dilengkapi teleskop survei berdiameter 50 cm dan teleskop matahari berdiameter 30 cm.
Menurut peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, Rhorom Priyatikanto, kondisi iklim Pulau Timor memungkinkan para astronom melakukan pengamatan langit lebih dari setengah tahun. Sejak kedatangan teleskop 3,8 meter dari Jepang pada Juni 2023, proses instalasi terus dilakukan. Targetnya, setelah penyesuaian sistem dan pengujian teleskop (first light) selesai, Obnas Timau siap beroperasi penuh.
Teleskop raksasa ini dirancang canggih, terdiri dari cermin primer berbentuk hiperbola dengan 18 segmen, cermin sekunder berdiameter 1 meter yang dapat bergerak 5 derajat, serta cermin tersier untuk mengarahkan cahaya ke kamera. Berat total teleskop ini hanya sekitar 20 ton dan dilengkapi instrumen seperti kamera fotometri 3OPTIKA dan NIRK yang dapat memotret objek langit mulai dari planet, gugus bintang, hingga galaksi jauh.
Keberadaan Obnas Timau tak hanya penting bagi riset astronomi, tetapi juga diharapkan memberi manfaat langsung bagi masyarakat sekitar. BRIN bersama pemerintah daerah mendorong kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Langit Gelap (Dark Sky Park) untuk menjaga kualitas langit dari polusi cahaya. Pengaturan penggunaan lampu luar, edukasi masyarakat, hingga penyusunan regulasi khusus sedang dipersiapkan agar warisan langit gelap Timau tetap terjaga.
“Kami ingin langit gelap ini bukan hanya untuk ilmuwan, tetapi juga jadi daya tarik wisata astronomi yang bisa menggerakkan ekonomi lokal,” ujar Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN, Emmanuel Sungging Mumpuni. Wisatawan dapat menikmati langit Timau sambil belajar astronomi langsung di pusat riset modern.
Dengan selesainya instalasi teleskop raksasa dan berbagai fasilitas pendukung, Obnas Timau tidak hanya akan menjadi observatorium terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga pusat unggulan untuk penelitian astronomi, pendidikan publik, hingga pemantauan objek antariksa yang dapat membahayakan bumi.
Di tengah keheningan malam Gunung Timau, berdirinya Observatorium Nasional Timau adalah bukti nyata langkah maju Indonesia dalam sains antariksa membuka jendela lebih lebar ke langit semesta, dan membawa manfaatnya hingga ke masyarakat paling dekat dengan bintang-bintang.