astakom, Jakarta – Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menegaskan bahwa kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) hanya mencakup ekspor komoditas hasil industri, bukan bahan mentah seperti mineral ore.
Penegasan ini disampaikan dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7), guna meluruskan berbagai persepsi publik yang menilai kesepakatan ini membuka kembali keran ekspor mineral mentah.
Baca juga
“Coba baca joint statement-nya. Bunyinya itu industrial commodities. Jadi yang Amerika Serikat bisa invest, nanti bisa ekspor ke sana itu adalah bahan di hilir, bukan ores (mineral mentah), bukan bahan mentah,” tegas Susiwijono, dikutip astakom.com, Rabu (30/7).
Pernyataan ini mengacu pada Joint Statement on Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade yang dirilis Gedung Putih beberapa waktu lalu. Dalam dokumen tersebut disebutkan penghapusan pembatasan ekspor hanya berlaku untuk komoditas hasil industri, termasuk mineral kritis yang telah diolah atau diproses.
Susiwijono juga menegaskan bahwa larangan ekspor bahan mentah mineral tetap berlaku, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Pemerintah, kata dia, tidak berencana untuk membuka kembali ekspor ore yang sebelumnya sudah dihentikan demi mendorong hilirisasi sektor pertambahan dan penciptaan nilai tambah dalam negeri.
“Isunya dikira kita dengan membuka, kata-katanya Trump itu, access market ke Indonesia. Bahkan termasuk sektor pertambangan mineral. Seakan-akan kita akan membuka ekspor ores, bahan mentah kita yang sesuai Undang-Undang Minerba sudah kita larang,” jelasnya.
Terkait kekhawatiran publik soal potensi gangguan terhadap ketahanan pangan nasional, Susiwijono juga menegaskan bahwa komoditas pertanian yang dibahas dalam perjanjian dengan AS hanyalah produk-produk yang memang selama ini telah diimpor dari negara tersebut.
“Soybean (kedelai), kedelai kita (impor) 3 juta ton lebih setiap tahun. Soybean meal untuk makan ternak, cotton, wheat, corn, dan sebagainya. Enggak ada yang baru, enggak ada duit keluar di sana,” katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa seluruh impor dari AS tetap harus memperhatikan kebutuhan dalam negeri dan kelayakan bisnis. Pergeseran sumber impor ini juga diharapkan bisa menjaga stabilitas harga pangan, terutama untuk komoditas yang menyumbang inflasi.
Susiwijono juga menegaskan bahwa pemerintah hanya memfasilitasi kerja sama antarpelaku usaha melalui perjanjian ini. Tidak ada anggaran negara yang digunakan untuk membeli produk AS dalam skema senilai USD 19,5 miliar tersebut.
“Jadi jangan dipersepsikan pemerintah mengeluarkan duit 19,5 miliar dolar AS, membeli tambahan produk Amerika,” tandasnya.