astakom, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, mendesak penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Ia menekankan pentingnya menggunakan pendekatan hukum pidana, bukan sekadar sanksi administratif atau penyelesaian internal kampus.
“Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan terhadap tubuh, martabat, dan hak asasi korban. Ketika pelakunya adalah tokoh publik dalam dunia pendidikan, proses hukum harus berjalan dengan standar integritas yang tinggi dan tanpa kompromi,” kata Gilang, Senin (28/7).
Baca juga
Ia juga menuntut agar penegak hukum serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktsaintek) menangani kasus ini dengan profesionalisme tinggi.
“Tidak boleh ada perlindungan bagi pelaku, negosiasi, atau penyelesaian internal yang melemahkan keadilan bagi korban,” tegasnya.
Kasus ini tengah diselidiki oleh Polresta Banyumas untuk mengumpulkan informasi awal, meski belum terdapat laporan resmi. Di sisi lain, pihak rektorat Unsoed telah membentuk tim pemeriksa yang terdiri dari tujuh orang guna mengusut tuntas dugaan tersebut.
Aksi solidaritas mahasiswa sempat berlangsung di depan kampus Unsoed, sebagai bentuk dukungan terhadap korban yang disebut mengalami kekerasan seksual oleh oknum guru besar kampus tersebut.
Gilang meminta aparat penegak hukum bersikap proaktif dan menyelesaikan perkara ini secara adil, cepat, dan transparan. Ia menekankan bahwa status sosial atau akademik pelaku tidak boleh menjadi penghalang tegaknya hukum.
“Kami juga mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan khusus terhadap korban dari potensi intimidasi dan tekanan,” ujarnya.
“Pastikan bahwa bukti dan kesaksian ditangani secara profesional, dan menerapkan perspektif korban selama proses hukum berlangsung,” lanjut legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.
Gilang juga menyoroti pentingnya penerapan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam penanganan kasus ini. Ia mengingatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi kuasa memiliki unsur pemberatan pidana.
“Jika terbukti, pelaku tidak hanya layak dijatuhi hukuman pidana maksimal, tetapi juga harus dicabut hak sosialnya untuk berkiprah di dunia akademik dan publik,” tegas Gilang.
UU TPKS sendiri dalam Pasal 11 mengatur bahwa pejabat publik yang melakukan kekerasan seksual dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta.
Sebagai anggota DPR yang membidangi urusan hukum dan bermitra dengan Kepolisian, Gilang menekankan bahwa kasus semacam ini tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggaran etik semata. Ia meminta agar seluruh kampus tidak lagi menyelesaikan kasus kekerasan seksual hanya demi menjaga nama baik institusi.
“Kasus ini menjadi preseden penting bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat aman bagi predator seksual,” ucapnya.
“Negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan hukum yang setara dan adil bagi seluruh warganya, tanpa kecuali. Tanggung jawab ini termasuk untuk instansi yang terlibat dalam penanganan kasusnya,” pungkas Gilang.