astakom, Jakarta – Satgas Pangan Polri terus mengembangkan penyidikan kasus pengoplosan beras medium menjadi beras premium yang diduga merugikan masyarakat hingga Rp99,35 triliun.
Dugaan keterlibatan kartel dalam kasus tersebut pun mulai diusut oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.
Baca juga
Kepala Satgas Pangan sekaligus Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf menyatakan bahwa proses pengusutan masih panjang dan mendalam, terutama terkait indikasi adanya jaringan kartel.
“Untuk kartel kita belum bisa memberikan kesimpulan, karena prosesnya masih panjang sekali,” ujar Helfi dalam konferensi pers, dikutip astakom.com, Kamis (24/7).
Ia menjelaskan bahwa pembuktian keterlibatan kartel memerlukan pelacakan dari rantai distribusi hulu hingga hilir. Kartel atau mafia pangan, menurutnya, bekerja secara terstruktur dan sistematis, sehingga penyidik harus melakukan pendalaman komprehensif.
“Kalau kartel atau mafia itu dari hulu sampai hilir harus berkesinambungan dan mereka jadi berafiliasi, sementara ini kan kita belum, harus pendalaman lebih jauh lagi,” tuturnya.
Saat ini, kasus telah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Polri tengah memburu dua alat bukti tambahan guna menetapkan tersangka, baik dari pihak perorangan maupun korporasi.
“Terkait masalah tersangka, bisa perorangan dan bisa korporasi. Kenapa demikian? Karena profitnya otomatis perusahaan yang akan menikmati,” kata Helfi.
Dalam pengembangan penyidikan, ditemukan tiga produsen yang melanggar ketentuan mutu dan takaran dalam produksi beras premium dari lima merek yang diperiksa.
Ketiga produsen tersebut yakni PT Food Station sebagai produsen merek Setra Ramos Merah, Setra Ramos Biru, dan Setra Pulen. Kemudian Toko SY (Sumber Raya), selaku produsen beras merek Jelita, serta PT Padi Indonesia Maju Wilmar, produsen beras merek Sania.
Dalam kasus ini, para pelaku dapat dijerat Pasal 62 Jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ancaman hukuman yang menanti tidak main-main, yakni maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.