astakom, Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati mengungkapkan keprihatinannya terkait kebijakan penambahan daya tampung siswa di sekolah negeri hingga 50 siswa per rombongan belajar (rombel) melalui mekanisme Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS).
Dampaknya, sekolah swasta harus berburu peserta didik karena jumlah pendaftar turun drastis dibandingkan tahun ajaran sebelumnya.
Baca juga
Esti menilai, kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu berpotensi memicu ketidakseimbangan sistemik yang dapat melemahkan kualitas pendidikan dan keberlangsungan sekolah swasta.
“Penambahan kuota di sekolah negeri tidak boleh dilakukan secara reaktif, apalagi sampai mengabaikan prinsip mutu dan keberlanjutan ekosistem pendidikan nasional,” kata MY Esti Wijayati, Rabu (23/7).
Esti memahami kebijakan PAPS di Jawa Barat bertujuan baik demi mengurangi tingginya angka putus sekolah di Jabar. Namun perencanaannya harus dilakukan dengan matang dan tidak tiba-tiba.
Menurutnya, semua kebijakan harus mempunyai analisis terlebih dulu. Seperti jumlah sekolah, sebaran wilayahnya, rombongan belajarnya, tenaga pendidik, fasiltas dan lain sebagainya untuk mendapatkan kebijakan yang tepat.
“Termasuk keberadaan dan keberlangsungan sekolah swasta,” tegasnya.
Esti mengingatkan, harus ada kajian secara mendalam sebelum mengambil sebuah kebijakan.
“Juga mempertimbangkan apa dampaknya. Jadi kebijakan dalam hal pendidikan tidak boleh asal-asalan,” ucap Esti.
“Menampung lebih banyak siswa tentu tujuan yang mulia, tetapi ketika dilakukan secara mendadak tanpa disertai perhitungan terhadap kapasitas ruang kelas, rasio guru-siswa, dan kesiapan kurikulum, maka yang dikorbankan adalah kualitas pembelajaran itu sendiri,” sambungnya.
Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan kebijakan dengan menaikkan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dari 36 menjadi 50 siswa di SMA/SMK negeri.
Adapun kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat, yang ditetapkan pada 26 Juni 2025.
Akibat kebijakan tersebut, penerimaan peserta didik di sekitar 95 persen dari 3.858 sekolah menengah swasta di Jabar belum mencapai 50 persen. Data minimnya penerimaan siswa baru di ribuan sekolah itu diungkap Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jabar.
FKSS Jabar pun menyerukan agar kebijakan penambahan jumlah siswa di rombel itu ditinjau kembali. Bahkan FKSS Jabar berencana menggugat keputusan Gubernur Jawa Barat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait keputusan tersebut.
Terkait hal ini, Esti meminta Pemprov Jabar dapat bersikap lebih bijaksana. Apalagi sudah terlihat dampak dari kebijakan tersebut yang telah meredupkan ekosistem pendidikan di sekolah swasta.
“Dalam menerapkan kebijakan, diperlukan juga masukan dari stakeholder-stakeholder terkait agar tidak menjadi bias. Dalam kasus ini, Pemprov maupun Disdik Jabar bisa duduk bersama dengan pihak sekolah swasta untuk mencari jalan tengah,” ungkap Esti.
“Sekolah dengan kelas-kelas yang ada juga belum dirancang untuk jumlah siswa 50, dan rasio ideal untuk pembelajaran juga sudah ada. Jadi penambahan menjadi 50 pasti ada dampak dalam proses pembelajaran dan hasilnya,” tambahnya.
Di sisi lain, Esti menggarisbawahi bahwa salah satu konsekuensi yang paling nyata dari kebijakan tersebut adalah distorsi kompetisi antara sekolah negeri dan swasta, terutama di wilayah-wilayah urban seperti Jawa Barat. Di mana kapasitas sekolah negeri diperluas secara masif tanpa keterlibatan sekolah swasta sebagai mitra strategis negara dalam pendidikan.
“Sekolah swasta yang telah berinvestasi selama bertahun-tahun dalam kualitas pendidikan kini menghadapi ancaman eksodus siswa, bukan karena kualitas layanan yang buruk, tetapi karena munculnya persepsi bahwa pendidikan di sekolah negeri kini dapat diakses tanpa batasan, bahkan dengan kapasitas yang melampaui batas ideal,” papar Esti.
Esti pun menekankan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia dibangun atas dasar koeksistensi (hidup berdampingan) antara sekolah negeri dan swasta. Ia mengingatkan bahwa mengabaikan peran sekolah swasta yang faktanya menampung jutaan siswa di seluruh Indonesia, akan menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang serius.
“Ketika sekolah swasta mulai kolaps akibat kebijakan yang tidak akomodatif, kita sedang menciptakan krisis pendidikan baru yang jauh lebih sulit untuk dipulihkan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Esti juga mengkritisi lemahnya komunikasi dan minimnya dialog multistakeholder dalam proses penetapan kebijakan ini. Menurutnya, asosiasi sekolah swasta, yayasan pendidikan, serta komunitas guru dan orang tua siswa harus dilibatkan secara aktif dalam diskusi kebijakan yang menyangkut arsitektur pendidikan daerah dan nasional.
“Tanpa partisipasi publik yang memadai, kebijakan yang lahir cenderung bersifat sepihak dan rentan menuai resistensi atau bahkan gugatan hukum, seperti yang terjadi di Jabar ini,” terang Esti.
Sebagai solusi, pimpinan Komisi pendidikan DPR tersebut mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menyeimbangkan pendekatan afirmatif dengan tata kelola pendidikan yang berbasis data. Termasuk, kata Esti, soal kualitas pendidikan dan keadilan institusional.
“Penambahan daya tampung harus dibarengi dengan investasi serius pada infrastruktur sekolah, peningkatan kompetensi guru, serta distribusi anggaran yang adil,” jelas Legislator dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.
Esti juga menilai diperlukan pula penyusunan kebijakan kolaboratif yang memberikan ruang bagi sekolah swasta untuk tetap bertahan dan berkontribusi secara optimal.
“Termasuk melalui skema subsidi silang atau insentif bagi siswa miskin yang memilih sekolah swasta,” sebut Esti.
“Pemerintah tidak boleh berjalan sendiri dalam merancang masa depan pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar urusan angka daya tampung, tetapi soal merawat kualitas, keberagaman, dan daya tahan sistem pendidikan nasional secara holistik,” lanjutnya.
Bersamaan dengan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 yang mengusung tema ‘Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045’, Esti menilai perhatian pada dunia pendidikan harus ditingkatkan dan menjadi prioritas. Mengingat sekolah merupakan ruang paling mulia untuk menumbuhkan karakter anak bangsa.
“Selamat Hari Anak Nasional. Semua anak Indonesia wajib mendapat perlindungan dan pemenuhan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkas Esti.