astakom, Jakarta – Di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital, layanan pay later atau bayar nanti makin digemari, khususnya di kalangan generasi muda. Meski menawarkan kemudahan, pola konsumsi tanpa kendali justru menjadi jebakan baru yang mengancam stabilitas finansial kaum milenial dan Gen Z.
Dosen Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Miftakhul Khasanah menilai bahwa layanan pay later sejatinya adalah bentuk utang digital yang dibungkus dalam kemasan instan dan sangat mudah diakses.
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
“Dulu, seseorang ingin berutang melalui kartu kredit harus memiliki kartu dan melalui proses administrasi yang cukup panjang. Namun, saat ini, cukup melalui aplikasi di ponsel untuk melakukan transaksi. Inilah yang menyebabkan masyarakat akhirnya kehilangan kendali atas konsumsi mereka,” jelas Miftakhul dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com, Rabu (23/7).
Kemudahan ini kian menggoda generasi muda, terutama Gen Z, yang sejak lahir telah akrab dengan gawai dan layanan digital. Namun, di balik kenyamanan itu, muncul risiko baru, yakni gaya hidup konsumtif yang tidak disadari.
“Mahasiswa pernah bercerita bahwa selama bisa membayar sebelum jatuh tempo, mereka tidak akan terkena bunga atau denda, sehingga hal tersebut dianggap tidak bermasalah. Namun, ketika ditanya lebih lanjut apakah kebiasaan itu membuat mereka lebih boros, mereka mengakui bahwa kebiasaan tersebut justru membuat mereka lebih boros,” ungkapnya.
Miftakhul menjelaskan, situasi ini terkait dengan kondisi disonansi kognitif, di mana seseorang sadar bahwa perilaku mereka keliru, tetapi tetap dilakukan. Ia mencontohkan, “Ini mirip dengan kasus lain, misalnya konsumsi makanan halal. Meskipun tahu mana yang sesuai syariah, tetapi tetap mengabaikannya.”
Yang lebih mengkhawatirkan, menurutnya, banyak masyarakat menjadikan pay later sebagai solusi jangka pendek tanpa rencana matang, hingga akhirnya terjebak dalam pusaran utang dan terpaksa beralih ke pinjaman online (pinjol) untuk menutupi utang sebelumnya.
Untuk mencegah dampak negatif lebih luas, Miftakhul mendorong kolaborasi aktif dari pemerintah, OJK, Kementerian Keuangan, dan lembaga pendidikan dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
“Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Kerja sama antar stakeholders harus dilakukan untuk memberikan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai literasi keuangan,” ujarnya.
Miftakhul pun menegaskan bahwa pay later sebaiknya tidak dijadikan kebiasaan konsumsi. Namun jika memang terpaksa, ia mengingatkan agar digunakan secara bijak dan penuh tanggung jawab.
“Generasi muda harus memiliki rencana keuangan jangka panjang. Mulailah dari hal sederhana seperti menabung, deposito, reksa dana, atau memanfaatkan aset keluarga seperti tanah untuk hal yang produktif. Jangan biarkan kemudahan teknologi justru membuat kita terperangkap dalam utang dan gaya hidup yang konsumtif,” tutupnya.