astakom, Jakarta — Pemerintah menggulirkan gagasan ambisius di Bulan Koperasi tahun ini: membentuk 80 ribu unit Koperasi Desa Merah Putih. Tujuannya mulia—membangkitkan ekonomi desa, memutus jerat rentenir, dan menumbuhkan kemandirian produksi dari bawah. Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar langkah besar ini tak mengulang kesalahan masa lalu.
Muhammad Risal, S.Si., M.M., Sekjend Koperasi Pemuda Indonesia periode 2018–2021, menegaskan bahwa koperasi bukan lembaga yang bisa dibangun hanya lewat surat keputusan dan semangat idealisme.
Baca juga
“Koperasi adalah organisme sosial-ekonomi yang hidup dan tumbuh lewat waktu, kepercayaan, dan ketekunan,” katanya.
Menurutnya, membentuk koperasi baru dalam jumlah masif bukan tanpa risiko. Tanpa sumber daya manusia yang matang, model bisnis relevan, dan tradisi manajerial yang kuat, koperasi hanya akan menjadi papan nama kosong di kantor desa.
Risal juga mengkritik kebiasaan membangun koperasi dari nol, padahal banyak koperasi yang sudah berjalan namun belum tersentuh intervensi negara.
“Ada ratusan koperasi yang sudah hidup meski berjalan dalam diam. Mestinya pemerintah mulai dari situ: pilih yang kuat, bantu mereka naik kelas, buka akses ke teknologi dan pasar,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa membangun koperasi seharusnya bukan soal kuantitas, melainkan kualitas. Pendekatan kuratif dan strategis menjadi kunci untuk memastikan koperasi bisa menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, bukan hanya pelengkap dalam program pembangunan.