astakom, Jakarta – Pemerintah tengah memfinalisasi rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan barang melalui platform digital, yang belakangan ini disorot publik.
Padahal pada dasarnya, kebijakan pajak ini bukan merupakan pajak baru, dan menjadi bagian dari transformasi sistem perpajakan di era ekonomi digital yang kian masif.
Baca juga
Salah seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Muhamad Satya Abdul Aziz menjelaskan, bahwa kebijakan ini merupakan alih mekanisme pemenuhan kewajiban pajak yang sebelumnya dilakukan secara mandiri oleh pedagang online.
“Marketplace, sebagai pihak yang sudah memiliki sistem teknologi dan data transaksi yang mumpuni, akan ditunjuk untuk memungut dan menyetorkan PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant,” jelasnya, dikutip astakom.com dari laman resmi DJP, Minggu (13/7).
Kebijakan ini, lanjut Satya, bertujuan untuk menyederhanakan proses pemungutan pajak sekaligus mengurangi beban administratif bagi para pelaku usaha daring.
Dalam skema baru ini, pajak akan langsung dipotong oleh marketplace tempat penjual bertransaksi, sehingga pelaku usaha tidak lagi harus membayar secara mandiri.
“Hal ini diyakini akan meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus mengurangi beban administratif bagi para pelaku usaha,” katanya.
Menjawab kekhawatiran publik soal potensi beban tambahan bagi pelaku UMKM, Satya menegaskan bahwa pedagang dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan PPh, sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
“Artinya, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tetap mendapat perlindungan fiskal dan tidak terdampak langsung oleh skema pemungutan ini,” ujarnya.
Dorong Keadilan dan Lawan Shadow Economy
Kebijakan ini juga dirancang untuk mendorong keadilan antarpelaku usaha, baik yang berjualan secara konvensional maupun digital. Marketplace akan membantu menjadikan sistem pajak lebih seragam dan transparan, sekaligus memperluas basis pajak nasional.
“Dengan mekanisme pemungutan melalui marketplace, sistem perpajakan menjadi lebih transparan, seragam, dan mencerminkan kapasitas ekonomi dari setiap pelaku usaha secara lebih akurat,” tegas Satya.
Ia juga menyebut, keterlibatan platform digital akan menjadi senjata ampuh dalam memberantas praktik ekonomi bayangan (shadow economy) yang sulit diawasi selama ini.
Menurut Satya, kebijakan ini dibentuk melalui proses meaningful participation, melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk pelaku industri e-commerce dan kementerian terkait.
Meski belum resmi berlaku, pemerintah telah menunjukkan komitmen terhadap keterbukaan informasi dan akan melakukan sosialisasi menyeluruh jika kebijakan ini diimplementasikan.
“Keterbukaan ini menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan yang adil dan modern,” tandasnya.