astakom, Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi, mengatakan berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak (2022), sebanyak 40 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan di ruang daring, termasuk perundungan atau bullying.
Arifah menyampaikan hal tersebut dalam Webinar Series “Libur Telah Tiba” sebagai rangkaian kegiatan Lokakarya Forum Anak Nasional 2025, dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional, yang jatuh pada 23 Juli.
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
Mengusung tema “Bijak di Dunia Digital, Tanggap di Krisis Iklim”, Menteri PPPA menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam bermedia sosial, terutama bagi anak-anak dan remaja yang saat ini tumbuh di era digital.
“Media sosial dan teknologi tidak bisa kita tinggalkan, karena bagian dari kehidupan masa kini. Namun, jangan sampai kita terlena dan menjadi korban sebab ketidakarifan kita dalam menggunakan media sosial,” ujar Arifah, pada Selasa (8/7) di Kantor Kemen PPPA.
Dalam acara yang digelar bersama Yayasan Save the Children Indonesia itu, Menteri PPPA turut mengingatkan pentingnya menerapkan prinsip saring sebelum sharing dalam bermedia sosial.
“Jika menerima informasi, cek dulu kebenarannya. Setelah itu, tanyakan kepada diri sendiri apakah informasi tersebut penting untuk disebarkan, dan apakah ada pihak yang bisa tersakiti jika informasi itu dibagikan. Bijaklah sebelum mengunggah atau membagikan sesuatu,” pesan Arifah dalam keterangan dikutip astakom.com, Rabu (9/7).
Menteri PPPA menekankan anak-anak merupakan subjek penting dalam pembangunan, oleh karena itu, negara, keluarga, masyarakat, dan dunia usaha memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses pembangunan berlangsung secara inklusif dan responsif terhadap suara serta kebutuhan anak.
“Dunia digital dan krisis iklim adalah dua tantangan besar yang harus dihadapi anak-anak masa kini. Kita semua wajib hadir untuk mendampingi mereka tumbuh dengan aman, tangguh, dan bijak,” pungkas Menteri PPPA.
CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar menyebut di era digital dan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan bagi perlindungan anak menjadi semakin kompleks dan mendesak untuk diatasi.
“Digitalisasi membawa peluang besar, tetapi juga risiko yang mengancam keselamatan dan hak-hak anak. Sementara itu, dampak perubahan iklim memperparah kondisi ketidakpastian yang dialami anak-anak, memperpanjang masa krisis dan menghambat akses mereka terhadap kebutuhan dasar,” jelas CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar.
Menuju Hari Anak Nasional 2025, Dessy juga mengajak seluruh pihak untuk kembali menegaskan komitmen bersama untuk melindungi anak-anak dari ancaman digital dan krisis iklim, serta membuka ruang bagi mereka untuk menjadi agen perubahan.