astakom, Jakarta – Direktur Eksekutif Pusat Perdagangan Internasional (ITC) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Pamela Coke-Hamilton menyoroti kebijakan baru terkait tarif perdagangan yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump baru-baru ini.
Dia menilai, kebijakan tarif tambahan 10 persen yang dikenakan AS tersebut akan tetap menambah beban signifikan pada negara-negara eksportir, terutama di sektor pakaian dan produk pertanian. Meskipun pada dasarnya, kebijakan ini bukan bagian dari skema tarif ‘timbal balik’.
Baca juga
“Meskipun jeda ini memberikan sedikit keringanan dibandingkan dengan tarif timbal balik, pungutan 10 persen tersebut ditambahkan ke bea masuk yang sudah ada, yang berarti negara-negara – sebagian besar negara berkembang – menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk mengekspor barang seperti pakaian dan produk pertanian ke AS,” ujarnya.
Kebijakan tarif timbal balik AS sendiri seharusnya mulai diberlakukan kembali minggu ini, namun pemerintah AS menundanya hingga 1 Agustus mendatang. Meski demikian, Coke-Hamilton menilai penundaan tersebut justru menambah ketidakpastian.
“Langkah tersebut memperpanjang periode ketidakpastian, merusak investasi jangka panjang dan kontrak bisnis, serta menciptakan ketidakpastian lebih lanjut,” tambahnya.
Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa ketidakpastian ekonomi semacam ini memiliki dampak nyata, terutama terhadap negara-negara paling kurang berkembang. Salah satunya, Lesotho.
“Lesotho… akan menghadapi tarif sebesar 50 persen, yang akan mengesampingkan akses bebas bea yang disediakan oleh Undang-Undang Pertumbuhan dan Peluang Afrika,” ungkapnya.
Vietnam pun disebut terdampak, meski berhasil menurunkan tarif yang dinegosiasikan menjadi 20 persen dari semula 46 persen. Namun angka tersebut tetap jauh di atas tarif 10 persen yang berlaku sebelumnya.
“Dua kali lipat dari 10 persen saat ini,” kata Coke-Hamilton.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan kekhawatiran atas tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang mendukung kebijakan BRICS, yang diumumkan akhir pekan lalu. Tindakan ini, menurutnya, merupakan bagian dari tren lebih luas.
“Bagian dari tren yang lebih luas dari lebih dari 150 tindakan pembatasan perdagangan global sejak Januari,” jelasnya.
Ironisnya, pada saat yang sama, negara-negara G7 justru diproyeksikan akan memangkas bantuan pembangunan hingga 28 persen tahun depan. “Singkatnya, dalam konteks saat ini, ‘badai sempurna’ sedang terjadi,” ujar Coke-Hamilton.
Untuk mengatasi dampak tersebut, ia menyerukan penguatan perdagangan regional, peningkatan investasi dalam industri bernilai tambah, serta menjadikan pelaku usaha kecil sebagai prioritas kebijakan. “Menjadikan agenda usaha kecil sebagai agenda politik,” tegasnya.