astakom, Jakarta – Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Achmad Nurmandi menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi para pengemudi dan kurir daring di Indonesia. Ia menyebut posisi para driver ojek online (ojol) masih terpinggirkan dalam sistem hukum nasional.
“Semua pekerja yang terhubung dengan aplikator itu kedudukan hukumnya lemah di Indonesia,” ujar Nurmandi dalam keterangan tertulis, dikutip astakom.com di Jakarta, Senin (7/7).
Baca juga
Ia menjelaskan bahwa para driver tidak diakui sebagai pekerja formal. Mereka hanya dianggap sebagai ‘mitra’ oleh perusahaan aplikasi, tanpa hak-hak dasar seperti jaminan sosial, asuransi kerja, atau perlindungan hukum saat menghadapi kekerasan dan konflik.
“Mereka tidak punya banyak pilihan selain menjadi driver ojol. Penghasilannya pun tidak seberapa. Mereka berada dalam posisi yang sangat lemah secara hukum. Kalau mereka mengalami kekerasan, siapa yang bisa menjamin perlindungannya?” ungkap Nurmandi.
Fenomena ini, menurutnya, merupakan wajah baru dari ‘kapitalisme digital’ yang menempatkan pekerja dalam sistem algoritmik tanpa kepastian hukum. Ia menambahkan bahwa eksploitasi terselubung melalui aplikasi digital makin memperlebar kesenjangan sosial di masyarakat.
Nurmandi juga menyinggung bahwa konflik antara pengemudi dan pelanggan sering kali terjadi akibat minimnya perlindungan dan pemahaman hukum dalam transaksi digital. Namun dalam banyak kasus, pengemudi tidak memiliki ruang atau sarana untuk mencari keadilan.
Ia mendorong agar pemerintah, pembuat kebijakan, serta penyedia aplikasi duduk bersama menyusun regulasi yang adil dan melindungi hak para pekerja digital.
“Kalau negara tidak hadir untuk mereka, maka kita membiarkan jutaan orang hidup dalam ketidakpastian hanya karena mereka bekerja lewat aplikasi,” pungkasnya.