astakom, Jakarta – Di era transformasi digital yang semakin pesat, data center telah menjadi fondasi penting bagi kedaulatan teknologi dan pertumbuhan ekonomi berbasis digital. Lebih dari sekadar fasilitas penyimpanan data, pusat data kini memainkan peran strategis sebagai tulang punggung infrastruktur digital nasional membuka jalan bagi terwujudnya visi besar Indonesia Emas 2045 yang menekankan kemandirian teknologi dan kekuatan ekonomi berbasis inovasi.
Transformasi ini bukan sekadar retorika. Dengan jumlah pengguna internet yang telah menembus 215 juta jiwa (APJII, 2024) dan geliat ekonomi digital yang diproyeksikan mencapai USD 130 miliar pada 2025 (e-Conomy SEA, Google–Temasek–Bain), kebutuhan akan data center lokal yang andal, aman, dan berdaulat menjadi semakin mendesak.
Baca juga
Data center menjadi tempat seluruh data digital disimpan dan diproses mulai dari sistem e-commerce, layanan kesehatan, pendidikan daring, hingga platform administrasi negara. Menurut data Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI), per 2024 tercatat lebih dari 60 fasilitas data center berskala besar yang tersebar di Indonesia, terutama di Jabodetabek dan wilayah penyangga ekonomi digital seperti Batam dan Surabaya.
Yang menarik, bukan hanya operator nasional seperti Telkomsigma, DCI Indonesia, dan Biznet GIO yang berekspansi, tetapi juga raksasa global seperti Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, dan Google Cloud yang telah membangun pusat data fisik di Indonesia. Kehadiran mereka memperkuat posisi Indonesia sebagai hub digital Asia Tenggara.
Namun demikian, pembangunan masif ini harus tetap diarahkan untuk mendukung kepentingan nasional bukan sekadar membuka pintu bagi arus data global, tetapi juga memastikan kontrol dan manfaatnya dinikmati rakyat Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato visi misinya menekankan bahwa Indonesia Emas 2045 hanya akan tercapai bila kita menguasai teknologi dan membangun infrastruktur digital yang mandiri.
Pusat data menjadi simpul dari semua itu. Tanpa data center nasional yang tangguh, aman, dan dikelola dengan prinsip kedaulatan, maka digitalisasi hanya akan menjadi pintu masuk dominasi asing dalam bentuk baru ketergantungan teknologi dan kebocoran data strategis.
Pemerintah melalui Badan Pusat Data Nasional (BPDN) tengah mengebut pembangunan empat pusat data nasional terpadu di Bekasi, Batam, Ibu Kota Nusantara, dan Labuan Bajo. Proyek ini didanai sebagian melalui kerja sama bilateral dan multilateral, termasuk dari Japan International Cooperation Agency (JICA), namun tetap dikontrol penuh oleh negara.
BPDN mengklaim bahwa sistem ini akan menjadi tulang punggung dari seluruh layanan publik digital, termasuk integrasi data kesehatan, kependudukan, pendidikan, hingga layanan perizinan.
Namun membangun data center bukan urusan mudah. Isu pertama adalah kebutuhan energi listrik yang sangat besar. Pusat data berskala besar rata-rata membutuhkan daya di atas 15 megawatt. Ini menimbulkan tantangan tersendiri di tengah target nasional untuk transisi energi bersih.
Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang percepatan energi terbarukan mengamanatkan agar sektor teknologi, termasuk data center, mulai beralih ke sumber energi hijau. Beberapa operator seperti DCI dan Google Cloud Indonesia telah berkomitmen menggunakan 100 persen energi terbarukan di fasilitas mereka mulai 2030.
Di sisi lain, keamanan siber menjadi tantangan yang terus berkembang. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat bahwa sepanjang 2023 terdapat lebih dari 300 juta anomali trafik siber yang terdeteksi di Indonesia. Pusat data menjadi sasaran empuk jika tidak memiliki sistem pertahanan berlapis dan sumber daya manusia yang terlatih.
Masalah lainnya adalah kekurangan talenta digital. Laporan Kementerian Keuangan dan World Bank menyebut Indonesia kekurangan sekitar 600 ribu tenaga ahli digital setiap tahunnya. Tanpa intervensi serius, kebutuhan untuk mengelola dan mengamankan data center nasional bisa jadi akan tergantung pada pihak luar.
Pembangunan data center nasional adalah langkah awal. Tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa pengelolaan, pengamanan, dan pemanfaatannya berpihak pada rakyat. Jika seluruh data dari NIK, rekam medis, hingga transaksi ekonomi disimpan dan diolah di luar negeri, maka kedaulatan digital tinggal slogan belaka.
Indonesia Emas 2045 bukan hanya mimpi tentang kemajuan ekonomi, tetapi tentang kemampuan berdiri di atas kaki sendiri di era digital. Pusat data nasional adalah kunci untuk membuka gerbang itu. Dan pertanyaannya kini bukan apakah Indonesia bisa membangunnya tapi apakah kita bisa mengelolanya dengan bijak, mandiri, dan berdaulat?