astakom, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah dilaksanakan terpisah mulai 2029.
Pemilu nasional memilih anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional). Sedangkan Pemilu daerah atau lokal yaitu memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
Baca juga
Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dengan begitu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029 mendatang.
“Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan, Kamis, (26/6).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.
Tak hanya itu, dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilihan umum yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Padahal, menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam.
“Di tengah isu dan masalah pembangunan yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap utama,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, dalam keterangan resmi dikutip astakom.com, Jumat (27/6).
Selain itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa tahapan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 tahun dengan pemilihan kepala daerah berimplikasi pada stabilitas partai politik.
Hal ini, khususnya berkaitan dengan kemampuan partai untuk mempersiapkan kader yang akan maju dalam kontestasi pemilihan umum.
Akibatnya, menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.
Partai politik juga dinilai tidak memiliki waktu yang cukup untuk merekrut calon anggota legislatif untuk tiga level sekaligus, apalagi bagi partai politik yang juga harus mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden-wakil presiden.
“Hal itu menyebabkan perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional,” ujarnya.
Dari sisi pemilih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan pemilu nasional yang berdekatan dengan waktu pemilihan kepala daerah berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum, sehingga secara tidak sadar berpengaruh pada kualitas pilihan.
Perludem mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam petitum, Perludem meminta Mahkamah memutus Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.