astakom, Jakarta – Ketegangan di Timur Tengah akibat konflik bersenjata yang terus meningkat antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran global, tak hanya dari sisi politik dan keamanan, tetapi juga pada sektor energi yang sangat vital.
Ketegangan di kawasan penghasil minyak dunia itu melonjak tajam setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir milik Iran, yang menjadi salah satu eskalasi paling serius dalam konflik Iran-Israel.
Baca juga
Aksi militer ini juga dinilai telah memperluas dimensi konflik ke ranah geopolitik global. Dampaknya pun dirasakan jauh hingga Indonesia, terutama pada ketahanan energi nasional. Pasalnya, Indonesia masih bergantung pada impor energi.
“Indonesia sangat bergantung pada negara lain untuk pasokan energi, khususnya dari Qatar dan Arab Saudi,” ujar Pakar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Faris Al-Fadhat, dikutip astakom.com, Minggu (22/6).
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, perdagangan energi Indonesia dengan Qatar tercatat sebesar 680 juta USD. Sementara dengan Arab Saudi mencapai 800 juta USD.
“Jika konflik memburuk dan menyeret kedua negara itu, Indonesia bisa terdampak lebih besar, terutama pada sektor energi yang sangat krusial,” ujarnya.
Menghadapi ancaman ini, Prof. Faris menilai bahwa percepatan transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) menjadi solusi strategis jangka panjang. Namun, ia menegaskan, upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan kebijakan dan insentif yang jelas.
Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang mendukung serta memberikan insentif fiskal bagi sektor swasta agar tertarik berinvestasi di bidang energi baru dan terbarukan (EBT).
Prof. Faris menyebut situasi global saat ini sebagai The Great Disruption, yakni gabungan antara eskalasi geopolitik dan krisis tata kelola ekonomi internasional. Ia juga menyoroti pergeseran drastis dalam hubungan antarnegara di era modern.
“Banyak negara mulai meninggalkan tatanan rule-based dan lebih mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Indonesia harus cermat membaca arah, siapa kawan dan siapa lawan,” pungkasnya.