astakom, Jakarta– Hubungan Indonesia dengan Rusia memiliki akar yang dalam, bahkan sejak era Uni Soviet. Ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, Uni Soviet termasuk negara awal yang secara aktif mendorong pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Dukungan tersebut menjadi fondasi awal hubungan hangat yang terjalin selama beberapa dekade.
Di Saint Petersburg, Presiden RI Prabowo Subianto bercerita ke Presiden Rusia Vladimir Putin soal “kisah persahabatan” Indonesia-Rusia. Prabowo ditemui Putin di Istana Konstantinovsky, Rusia, Kamis (19/6). Prabowo menyampaikan ucapan rasa terima kasihnya kepada Putin yang sudah menerima Indonesia menjadi anggota BRICS, aliansi ekonomi negara berkembang.
Baca juga
Sejak Prabowo dilantik menjadi Presiden, hubungan kedua negara yang terpisah jarak geografis antar benua ini semakin erat. “Dan sesudah itu hubungan kita terus meningkat. Pejabat-pejabat senior dari Rusia datang terus,” kata Prabowo dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan ke bahasa Rusia oleh penerjemah di sebelah kanannya.
Presiden Prabowo menceritakan sudah bertemu Wakil Perdana Menteri Rusia Denis Manturov sebanyak dua kali di Indonesia dan satu kali di St Petersburg ini. “Menteri Luar negeri saya (Sugiono) sudah tiga kali. Belum satu tahun sudah tiga kali ke Rusia,” tutur Prabowo sambil menunjuk Sugiono yang duduk di sebelah kanan.
Perjanjian-perjanjian Indonesia-Rusia dalam perdagangan bebas Eurasia dinilainya bergulir positif. Prabowo berterima kasih ke Putin. “Banyak sekali kemajuan dalam hubungan ini. Dan, terima kasih saya diundang sebagai tamu kehormatan di St Petersburg Economic Forum,” tandas Prabowo dikutip redaksi astakom.com
Pertemuan Perdana Prabowo–Putin: Simbol Persahabatan Dua Negara
Pada 31 Juli 2024, Menteri Pertahanan yang juga Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan ke Moskow. Ia disambut langsung oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. “Selamat datang. Kami mengenal Anda sebagai teman negara kami,” ujar Putin seperti dikutip dari laman resmi Kremlin. Dalam pertemuan yang sarat makna tersebut, hadir pula pejabat tinggi Rusia seperti Menlu Sergei Lavrov dan Denis Manturov.
Putin menyampaikan ucapan selamat kepada Prabowo atas kemenangannya dalam Pilpres Indonesia, sekaligus berharap kepemimpinannya bisa membawa angin segar dalam hubungan strategis Indonesia–Rusia. Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa Prabowo akan menjadi mitra penting dalam menjaga stabilitas kawasan Asia-Pasifik.
Sebaliknya, Prabowo menegaskan komitmennya untuk menjaga dan meningkatkan hubungan persahabatan kedua negara. Ia bahkan mengingatkan sejarah panjang hubungan Indonesia dan Rusia sejak era Uni Soviet—termasuk kontribusi nyata seperti pembangunan Stadion Gelora Bung Karno. Prabowo mengaku sudah empat kali berkunjung ke Rusia dalam empat tahun terakhir, dan menyimpan kesan hangat terhadap negara tersebut.
Lebih dari Sekadar Diplomasi
Sekilas, pertemuan Prabowo–Putin bisa saja dianggap sebagai agenda diplomatik rutin antarnegara. Namun, secara substansial, momen itu mencerminkan niat dua negara untuk kembali merajut hubungan strategis yang sempat meredup. Dalam konteks ini, Prabowo datang tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan, tetapi sebagai Presiden terpilih yang akan dilantik 20 Oktober 2024.
Putin, yang telah memenangkan masa jabatan ketiganya dalam pemilu Maret 2024 dan diproyeksikan bisa berkuasa hingga 2036, juga memperlihatkan sikap terbuka terhadap kerja sama bilateral yang lebih kuat di masa depan.
Akar Sejarah yang Kuat
Uni Soviet memainkan peran penting dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk dalam sidang-sidang PBB saat Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda. Era keemasan hubungan Indonesia–Uni Soviet tercatat terjadi antara 1956–1962, dengan pertukaran kunjungan kenegaraan antara Soekarno dan pemimpin Soviet seperti Nikita Khrushchev.
Proyek kerja sama saat itu meliputi pembangunan rumah sakit, stadion, hotel, hingga pabrik baja. Tak hanya itu, Uni Soviet juga memasok alutsista dalam jumlah besar untuk mendukung Operasi Trikora dalam upaya merebut kembali Irian Barat.
Namun, hubungan yang mesra itu surut pasca-G30S/PKI dan perubahan haluan politik Indonesia ke arah Barat. Baru pada 1989, hubungan mulai dinormalisasi lewat kunjungan Presiden Soeharto ke Moskow. Setelah bubarnya Uni Soviet pada 1991, Indonesia mengakui Federasi Rusia sebagai negara penerus secara resmi.
Dinamika Kontemporer dan CAATSA
Memasuki era reformasi, hubungan bilateral kembali menguat. Salah satu momen penting adalah penandatanganan deklarasi kemitraan strategis antara Presiden Megawati dan Putin pada 2003. Di tahun-tahun berikutnya, Indonesia kembali mengakuisisi sejumlah alutsista buatan Rusia, termasuk pesawat tempur Sukhoi dan helikopter Mil Mi-35.
Namun, akuisisi itu menghadapi tantangan baru pasca diterbitkannya Undang-Undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) oleh AS pada 2017. Regulasi ini melarang negara-negara sekutu AS membeli peralatan militer dari negara seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara. Imbasnya, rencana pembelian 11 unit Sukhoi Su-35 oleh Indonesia tertunda, meski pihak Rusia dan Indonesia sama-sama berkomitmen melanjutkannya.
Diplomasi “Mendayung di Antara Dua Karang”
Dalam konteks ini, langkah Prabowo menemui Putin menjadi sinyal penting bahwa Indonesia ingin memosisikan diri secara lebih seimbang dalam kancah global. Publik akan menilai kunjungan ini sebagai indikasi pergeseran orientasi luar negeri Indonesia ke arah Timur sebagai salah satu strategi geopolitik Indonesia dalam menghadapi lingkungan strategis yang kian dinamis. Selain Rusia, Prabowo juga menjajaki kerja sama dengan Turki dan China.
Pergeseran ini mengingatkan pada semangat politik luar negeri bebas aktif yang dicetuskan Bung Hatta pada 1948—yakni “mendayung di antara dua karang”. Artinya, Indonesia tak boleh terseret arus kekuatan besar, tapi harus bisa menjaga kepentingan nasional secara mandiri.
Langkah Konkret dan Harapan ke Depan
Pertemuan Prabowo dan Putin tidak berhenti pada basa-basi diplomatik. Keduanya membahas kemungkinan kerja sama strategis, termasuk pelatihan militer gabungan Orruda 2024 antara TNI AL dan Angkatan Laut Rusia. Latihan yang direncanakan digelar di Indonesia ini menjadi simbol penting dimulainya kembali kerja sama yang sempat macet.
Langkah konkret selanjutnya bisa dilakukan melalui pengaktifan kembali kontrak pembelian alutsista yang sempat tertunda, seperti BMP-3F dan BT-3F untuk Marinir TNI AL. Jika pembelian Su-35 dianggap terlalu berisiko terhadap sanksi CAATSA, Indonesia bisa mengambil opsi kompromi dengan mengandalkan armada Rafale dari Prancis dan F-15EX dari AS sebagai substitusi.
India, dalam kasus pembelian sistem rudal S-400 dari Rusia, menunjukkan bahwa tekanan eksternal bukanlah halangan jika suatu negara punya bargaining power kuat. Indonesia bisa belajar dari sikap tegas India untuk tidak tunduk pada tekanan pihak asing demi melindungi kepentingan nasionalnya.
Masa Depan Hubungan Strategis
Keberhasilan Indonesia membangun kembali kemesraan dengan Rusia tak hanya akan berdampak pada sektor pertahanan. Kerja sama strategis bisa meluas ke bidang energi, pembangunan infrastruktur (seperti pembangkit listrik tenaga nuklir), bantuan keamanan siber untuk IKN, hingga pengadaan minyak mentah murah dari Rusia.
Dalam dinamika geopolitik yang kian kompleks, Indonesia dituntut cerdas membaca arah angin. Politik luar negeri yang bebas aktif bukan sekadar slogan, melainkan seni dalam menjaga jarak aman dan tetap tegas menapaki jalan tengah. Dan di tangan Prabowo, diplomasi “mendayung antara dua karang” akan diuji dalam realitas global yang penuh gelombang.
Salam Gen Asta,
Editor in Chief